Opini Masyarakat Konsumsi, Tanda dan Makna Sebagai Bagian dari Eksistensi Diri | Muhyi Aditya Supratman
Opini Masyarakat Konsumsi, Tanda dan Makna Sebagai Bagian dari Eksistensi Diri
Muhyi Aditya Supratman
Globalisasi dan pergerakan teknologi yang cepat telah menempatkan budaya sebagai salah satu cara dalam memodifikasi dan menampilkan wajah baru dalam kerangka inovasi yang diciptakan guna memperbesar keuntungan semata. Salah satunya adalah budaya konsumsi. Konsep budaya konsumsi merupakan konsep yang diciptakan untuk menjelaskan bagaimana tanda dan makna menjadi hidup ketika realitas tersebut dihadapkan pada kenyataan di masyarakat. Mengutip website berita di liputan6.com mengenai tren belanja online dengan menggunakan E – Comerse dunia sentuh Rp.60. 900 Triliun di 2021. Data penelitian terbaru yang di publikasi oleh Adobe Digital Economy Index mencatat transaksi E- comerse ditahun 2021 akan mencapai SD 4,2 triliun atau sekitar Rp 60.900 triliun. Budaya konsumsi telah menjadi realitas untuk membantu manusia dalam kegiatan sekecil apapun. Termasuk membeli suatu produk tanpa didasarirasionalisasi kegunaan produk yang dibeli tersebut.
(Wolny, 2017) Kelebihan tanda dan makna akan berakibat terhadap penipisan realitas. Di dunia utopis dan dunia marxisme kita di pertemukan oleh sebuah realitas yang membantu kita dalam kegiatan sekecil apapun. Dunia beroperasi pada tatanan makna dan petanda sehingga semakin buta terhadap tindakan simbolis. Simulacra merupakan istilah yang di gunakan Jean Baudrillard untuk menunjukkan kemiripan atau kesamaan. Simulacrum mengacu terhadap film, gambar, fotografi,dan media lainnya dimana kenyataan yang nyata tidak lagi bisa di tandai sedangkan simulacrum dapat di tandai. Kapitalisme hadir untuk menunjukkan eksistensinya sebagai ruang inovasi yang menciptakan keberagaman benda dan kemudahan di kehidupan manusia guna memperbesar keuntungan yang diperoleh. Termasuk dengan menggunakan komodifikasi produk sebagai salah satu cara mendapatkan hasil yang lebih besar. Disamping itu, kapitalisme yang semakin sempurna menciptakan disparitas dan kesenjangan akses bagi sebagian masyarakat. Mereka yang tidak memiliki akses materi hanya menjadi bagian kecil dari penikmat produk melalui konsumsi tanda demi kepuasan batin.
(Bakti et al., 2019) mengutip pendapat Baudrillard bahwa konsumsi memiliki hubungan dengan sistem tanda dan semiotika. Pada proses belanja online, individu tidak menyadari bahwa dirinya telah mengkonsumsi tanda dan makna yang hendak dihadirkan dalam kerangka budaya konsumsi. Oleh karena itu, setiap individu menampilkan eksistensi dirinya melalui komoditas – komoditas yang telah menampilkan tanda dan makna. Slogan merupakan kode untuk menunjukkan keberadaan dirinya kepada orang lain. Termasuk slogan Saya berbelanja maka saya ada . Budaya konsumerisme menciptakan tanda sebagai strategi untuk menarik para konsumennya dalam memaknai barang yang dihasilkan. Dengan kata lain, kode menjadi salah satu kunci dalam mengembangkan budaya konsumerisme di masyarakat. Sebagai bagian dari pengembangan kapitalisme yang berlanjut, proses penerimaan budaya menjadi salah satu peluang untuk memberikan jalan dalam proses memperbesar keuntungan secara berkelanjutan. Budaya konsumsi menjadi salah satu faktor dalam menyokong kapitalisme dalam kerangka kebudayaan yang dikomodifikasi. Setiap individu mencari eksistensinya masing – masing melalui konsumsi tanda yang dihadapkan. Disamping itu, disparitas dan ruang keberjarakan antara pemilik kuasa produksi dan para penikmat produksi terlihat jelas ketika para aktor yang tidak memiliki relasi dan kekuasaan produksi hanya bisa menikmati benda dan sesuatu yang diproduksi demi keberuntungan proses kapitalisme.
Sistematika yang lebih rinci dapat dilihat melalui kerangka aplikasi belanja online ketika tanda yang berupa foto yang menarik menciptakan keingininan individu dalam melakukan konsep konsumerisme. Individu tidak menyadari bahwa ia telah mengkonsumsi tanda dalam aplikasi digital di smartphone nya sehingga dalam konteks inilah budaya konsumerisme dan kapitalisme menciptakan ruang gerak yang dapat dikatakan menjadi satu dimensi karena kapitalisme dengan jiwa inovaasinya telah menghadirkan difusi inovasi yang menciptakan penerimaan ideologi baru di masyarakat. Menarik untuk dikaji karena berhadapan dengan konteks dunia simulasi yang memiliki keterkaitan dengan bagaimana tanda dan makna memiliki fungsi dan tujuan dengan jalan inovasi menuju kapitalisme modern yang semakin bergerak melaju, namun disisi lain meninggalkan segudang permasalahan mengwnai konsep konsumerisme dan kemiskinan batin ketika individu dan masyarakat hanya bisa mengkonsumsi barang tanpa ia mengetahui bagaimana barang tersebut di produksi dan didistribusikan melalui proses internalisasi dan hegemoni.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.liputan6.com/bisnis/read/4544527/belanja-online-jadi-tren-transaksi-ecommerce-dunia-sentuh-rp-60900-triliun-di-2021
Bakti, I. S., Nirzalin, N., & Alwi, A. (2019). Konsumerisme dalam Perspektif Jean Baudrillard. Jurnal Sosiologi USK (Media Pemikiran & Aplikasi), 13(2), 147– 166. https://doi.org/10.24815/jsu.v13i2.15925
Wolny, R. W. (2017). Hiperrealitas dan Simulacrum : Jean Baudrillard dan Postmodernisme Eropa. 4138, 75–83.
Komentar
Posting Komentar