SEKAR Edisi Bulan April 2023 | Merayan saat Terjaga oleh Savariya

 

Merayan saat Terjaga

Sebuah cerpen oleh Savariya

Sudut mataku menangkap seorang gadis yang duduk di teras kelas X Bahasa. Helai-helai rambutnya melambai diterpa angin, menutupi sebagian wajah dan membuatku tak mampu mengenalinya. Pintu-pintu kelas X masih belum dibuka, dia datang terlalu pagi seperti diriku. Seekor burung gagak mengepakkan sayap dan hinggap di atap kelas. Berkicau dan mengubah atmosfer menjadi semakin suram saat awan hitam menutupi langit secara tiba-tiba. Memandang gadis itu yang masih duduk di tempat sama membuat suasana kian mengerikan. Aku tak dapat bergerak, tak bisa berteriak. Sepersekian detik kemudian, tubuh gadis itu jatuh dan terjun dari lantai dua kelas yang tergolong masih baru dibangun.

 “Nay!” suara seseorang bergema di kepalaku.

Sontak aku mendongakkan kepala dan melihat papan tulis dipenuhi dengan materi statistika. Lampu kelas yang padam membuat suasana semakin gelap, saat aku tersadar bahwa mendung telah menyelimuti angkasa. Baru saja aku mendengar suara seseorang yang memanggilku tapi ternyata sudah tidak ada orang. Dengan terburu-buru aku membawa tas dan meninggalkan kelas yang nyenyat.

 Aku berlari semakin cepat agar segera sampai melewati gerbang. Keluar dari tempat yang berubah menyeramkan akhir-akhir ini. Namun, jantungku dipaksa berhenti berdetak untuk beberapa detik. Karena, seseorang telah berdiri di gerbang seolah menyambutku dengan jas biru dan dasi hitam di kedua tangannya. Seluruh tubuhku kaku, meminta tolong juga tak mampu.

Dia bergerak membalikkan tubuh, aku mengingatnya meski tak tahu siapa dirinya. Dengan napas yang memburu, aku mengedipkan mata. Mendadak dia maju beberapa meter dari tempatnya yang semula berdiri. Berjalan dengan patah-patah dan menyeret jas serta dasinya. Kukedipkan mataku sekali lagi, kami berpapasan.

***

Tubuhku terperanjat dan tersadar aku masih duduk di bangku depan. Mimpi di dalam mimpi bersamanya. Bukan sekali dua kali, ini sudah ketiga kalinya aku memimpikan dia saat mataku terpejam. Bahkan pada suasana yang riuh di kelas saat jam istirahat, dia mendatangiku lagi. Ketakutan menggerayangiku saat melihat dia harus terjatuh dari ketinggian dan menghampiriku tiap malam.

“Kamu enggak papa?” Tyas, salah satu siswa yang terkenal tajir menatapku dengan khawatir. Padahal beberapa menit yang lalu aku hanya pamit untuk tidur sebentar, bukan menutup mata untuk selamanya.

“Di UKS aja kalau sakit,” imbuhnya saat aku tidak menjawab pertanyaannya.

“Hanya mimpi buruk,” jawabku. Lalu merapikan bukuku dan kumasukkan ke dalam tas hitam yang baru kubeli kemarin.

“Tapi kurasa aku akan pulang lebih awal,” kuputuskan untuk memotong jam pelajaran dan kembali di rumah. Aku berusaha menjauhi sepi agar tak mengingat mimpi itu lagi. Tetapi nyatanya, teror itu terus menghantui.

Kucangklong tas dengan niat meninggalkan kelas. Di sisi lain, Tyas menghampiri beberapa temannya dan menunjuk-nunjuk diriku. Aku tidak peduli. Sebelum meninggalkan sekolah, aku harus mengambil kartu izin di tempat yang selalu kuhindari. Tempat membosankan itu berdiri di belakang kelas X Bahasa.  Agar tak lagi terbayang mimpi mengerikan itu, aku memilih untuk memutar jalan. Melewati lapangan, menyapa beberapa teman di kantin kejujuran, dan akhirnya sampai di depan pintu cokelat perpustakaan.

“Pak, permisi,” aku tak mendapat jawaban. Hanya tumpukan buku berdebu yang berada di rak mencoba menyapaku dan sebagian berserakan di lantai. Sisa-sisa kertas yang sudah digunting pergi ke sana kemari karena disapu oleh kipas angin yang senantiasa hidup di langit-langit perpustakaan.

“Pak,” kupanggil kembali petugas untuk kedua kalinya. Tidak ada suara yang menyambutku.

Di samping komputer tua, beberapa kartu hijau tergeletak di dalam kardus kecil. Tanpa pikir panjang, kuambil kertas itu dan kuisi dengan identitasku. Berharap setelah aku pulang, aku bisa tidur nyenyak tanpa gangguan perempuan itu lagi. Aku tidak tahu siapa gadis itu, apa hubungannya denganku, dan kenapa aku harus memimpikannya dalam tiap tidurku.

Awalnya hidupku biasa-biasa saja—bahkan terlalu biasa untuk diceritakan pada semua orang. Aku tidak pernah mencari masalah dengan siapa pun. Kalau saja aku terjebak pada keramaian baku hantam, lebih baik aku lari meski banyak orang menganggapnya asyik dan rugi untuk ditinggalkan.

Tenggelam dalam sepinya perpustakaan dan berkecamuknya pikiran adalah ruang nyata untuk mengundang ketakutan datang. Suara ketukan di jendela membuatku terjingkat dari kursi plastik merah. Tanpa berpikir positif, aku menyambar tas dan meninggalkan perpustakaan terkutuk itu akibat berdekatan dengan kelas bahasa.

Sejujurnya, aku malas untuk meninggalkan sekolah di saat-saat seperti ini. Aku harus menemui beberapa guru untuk dimintai tanda tangan sebelum akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Tentunya dengan alasan yang sebenarnya tidak sedang kurasakan. Tidak mungkin aku akan berpamitan karena aku diteror mimpi buruk. Itu artinya aku membuka topeng bahwa kelas tidak lebih dari tempat tidur bagiku.

Dengan pikiran yang kacau, aku mengurungkan niat untuk melangkahi gerbang sekolah. Karena, di sisi lain menyadari bahwa jarak antara sekolah dan rumah tidak dekat. Aku duduk di pos satpam seraya berbincang ringan dan sambat ini itu. Aku dan satpam sekolah tidak cukup akrab tetapi dia adalah orang yang baik, sehingga mudah untuk membujuknya agar aku diperbolehkan untuk duduk di sana.

“Ngomong-ngomong soal bangkai kucing yang saya temukan dua hari lalu, sampeyan(kamu) masih ingat tragedi di kelas bahasa itu ndak pak?” obrolan ngalor-ngidul(ke sana kemari) tukang kebun dan pak satpam mulai mendapatkan topik terarah. Sejak tadi aku hanya bisa menangkap tentang kopi hitam, tembakau paling enak, dan akhirnya kucing hitam menjadi jembatan percakapan mereka pada tema selanjutnya.

“Huust ndak usah bahas-bahas itu lagi lah. Udah lama juga kejadiannya,” balas Pak Kusno yang sedang menaruh cangkir kopi di atas meja.

“Lah, bukan begitu, maksud saya kan saya juga kepingin tahu bagaimana ceritanya sampai dia mengambil keputusan yang mengerikan. Medeni(menakutkan) lho Pak,”  Tukang kebun ini memang memiliki nama yang sesuai dengan perangainya, Geger, sukanya bikin keributan dengan dalih penasaran.

Sampeyan ini, sudah tahu medeni kok ya diteruskan ceritanya. Tapi Pak, menurut kabar dari anak-anak, dia korban bulu-bulu. Apa ya namanya, kalau anak zaman sekarang nyebutnya. Intinya kekerasan gitu lho Pak,” ternyata dua orang ini sama saja. Awalnya pura-pura tidak mau, tapi nyatanya malah diteruskan.

“Perundungan pak. Bulu-bulu apa tho sampeyan ini,” aku menahan tawa agar tak meledak di sana.

“Ya itu wis(sudah) Pak. Terlalu keras mungkin Pak, sampai imbasnya ke mental juga,”

“Saya itu enggak habis pikir aja. Siapa juga Pak yang ndak kaget, pagi-pagi sudah nemuin mayat tiduran di tanah. Saya pikir pingsan ternyata habis terjun dan getihe(darahnya) sudah ngalir ke mana-mana,”

Aku menatap dua pria dewasa ini dengan tak percaya, mereka membahas kasus bunuh diri di sekolah ini? Mereka menatapku juga. Pak Kusno menepuk lutut Pak geger agar tak melanjutkan ceritanya.

“Kenapa Nduk(Nak)? Ndak tahu ceritanya ta?” tanya Pak Geger padaku.

“Lho sampeyan ini, wis-wis ndak usah dibahas. Bikin takut Nduke saja. Gimana Nduk sekolahnya?” Pak Kusno mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

“Lancar Pak. Yang terjun itu siapa Pak? Di mana kejadiannya?” aku kembali menarik mundur obrolan mereka.

“Kakak kelas kamu kalau ndak salah, kalau enggak dua tahun lalu, ya tiga tahun lalu. Di kelas bahasa depan perpus itu Nduk,” Pak Geger sangat antusias untuk menceritakan ulang tragedi itu. Sementara Pak Kusno masih berusaha untuk mencari topik lain. Dilihat dari raut wajahnya, Pak Kusno ingin sekali mengambil sandal untuk dilempar ke arah Pak Geger.

Panjenengan(Anda) tahu siapa namanya ndak Pak? Atau alamatnya mungkin?” tanyaku ragu. Mereka saling berpandangan dan kompak menggelengkan kepala.

“Memangnya kenapa tanya begitu?” Pak Kusno malah balik bertanya.

“Bukan apa-apa Pak. Cuma ingin tahu saja,” sudah jelas aku berbohong. Aku tidak ingin melibatkan banyak orang pada masalah ini.

“Saya sih enggak kenal Nduk, coba kamu tanyakan ke ruang guru. Biasanya kan ada yang nyimpan data siswa dari tahun ke tahun,” saran Pak Geger yang membuatku mengangguk pelan.

Aku terdiam dan menatap lurus ke depan. Dapat kudengar bisikan-bisikan dari Pak Kusno yang memarahi Pak Geger karena dia meneruskan pembicaraan tabu itu. Berarti benar, aku memimpikan kakak kelas di masa lalu. Jika boleh jujur, aku sangat membenci ini. Selain karena aku menjadi lebih takut di sekolah, aku akhirnya terlibat dengan sesuatu yang gaib.

Padahal tiap kali teman-teman bercerita padaku soal legenda simpang siur sekolah yang katanya bekas rumah sakit, kuburan, hingga tempat pembantaian, aku selalu menepisnya. Menganggap semua itu hanya bualan belaka. Anehnya, kini aku malah terjebak pada situasi yang sama sekali tak kupercaya.

Aku berdiri dari tempatku duduk dan pergi dari pos satpam, tentunya setelah berpamitan dengan bapak-bapak yang cukup banyak omongnya. Niatku untuk pulang ke rumah lebih awal akhirnya kutunda. Mimpi yang datang berulang kali itu, kupikir bukan kebetulan. Dia datang untuk meminta pertolongan. Aku harus menyelesaikan ini secepat mungkin agar bisa kembali tenang.

Namun, kakiku terpaku kendati melihat seorang gadis berdiri di sisi lain gerbang. Jantungku berdetak kencang dan tak berani untuk mengedipkan mata. Gadis itu adalah gadis yang menghabisi dirinya dan baru saja diperbincangkan. Beberapa detik kemudian, sebuah sepeda motor melintas di depannya, mengubah gadis itu menjadi seseorang yang kukenal.

Dia berdiri di tempat yang sama dengan tatapan mata menusuk dibalut keresahan. Tak lama kemudian, dia menyebrang dan melirikku dengan takut sembari menenteng plastik hitam.

“Dari mana Ra?” tanyaku.

“Am-ambil barang,” aku mengernyitkan dahi. Aneh, dia terlihat gemetar saat lewat di sampingku. Dengan tergesa-gesa dia mencoba menghindariku.

Aku membalikkan badan dan melihat tubuhnya semakin menjauh. Sebenarnya, perlakuan barusan hanya sekadar formalitas. Aku termasuk pada sebagian besar orang yang tak menyukai Angkara. Gadis itu baru masuk pada semester ini tapi terlalu banyak bertingkah. Mencuri perhatian para guru dan berusaha merebut posisi siswa terpintar di sekolah ini.

Tidak tahu juga bagaimana dia melakukan itu. Namun, usut punya usut dia memplagiat karya siswa terpintar dan langsung dipercayai oleh para guru. Mereka menuduh bahwa siswa yang sudah masuk dari kelas sepuluh itu meniru karya Angkara. Yang benar saja, meski aku tidak tahu tepatnya, tetapi aku lebih mempercayai penghuni lama. Angkara hanyalah pendatang dan merusak ketenangan.

“Lho, kok balik ke sekolah? Katanya mau pulang,” Pak Kusno menyadari berubahnya rute jalanku.

Mboten sios wangsul Pak(Tidak jadi pulang Pak),” jawabku lalu berlari menuju ke arah kelas. Aku mengambil jalan pintas agar lekas sampai, meski harus melewati kelas X Bahasa yang selalu terlintas dalam tidurku.

“Ketua kelas, mana ketua kelas?” aku masuk ke kelas dengan tergopoh-gopoh. Menarik semua perhatian semua siswa yang ada di dalamnya. Beruntungnya ini masih jam istirahat, kalau tidak mungkin aku yang akan di lempar keluar kelas.

Seorang lelaki berponi dengan masker biru bercorak polkadot mengangkat tangannya dengan gentar. Kulewati beberapa anak yang duduk di bangku dengan melongo dan sedikit menggeser meja yang menghalangi jalanku.

“Biasanya data-data siswa yang menyimpan siapa?” tanyaku tanpa basa basi.

“Bu-Bu Sati, di ruang TU,” jawabnya tergugup-gugup.

“Data lama di Bu Sati juga?”

“Kurang paham kalau data lama. Ta-tapi kamu bisa tanya ke Bu Sati,”

“Bu Sati sekarang masuk enggak?”

Lelaki kurus ini menggeleng, menandakan tidak masuk atau tidak tahu. Tapi dari raut mukanya, jelas dia takut.

“Bu Sati enggak masuk. Katanya ada keluarga yang sakit,” aku menoleh pada asal suara dari pojok kelas. Seorang gadis berkuncir kuda berdiri, lalu menciut takut saat aku melemparkan pandangannya padanya.

“Siapa dia?” tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari gadis itu.

“Sekretaris kelas,” jawab ketua kelas yang sibuk memundurkan kursinya dari hadapanku.

Aku menghela napas panjang. Aku tidak jadi pulang dan aku tidak dapat apa-apa. Akhirnya aku kembali duduk di bangkuku.

Kan aku wis ngomong, aja salin seragam ning kunu. Ngeyel sih awakmu iki(Kan aku sudah bilang, jangan salin seragam di sana. Ngeyel sih kamu ini),” seorang siswa yang tak kuingat lupa namanya masuk dengan membawa baju olahraga. Mereka adalah siswa yang telat mengambil nilai praktik mata pelajaran olahraga dan mungkin baru saja menyelesaikan persaingan ketat dengan ledakan antrian kamar mandi di jam istirahat.

Ya sapa sing ngerti(Ya siapa yang tahu),” balas perempuan satunya sembari melengos ke sahabatnya.

“Kalian pakai kamar mandi kelas X Bahasa?” mendadak mereka terkejut saat aku bertanya. Wajah dua gadis itu menciut seketika, aku memasang raut keheranan.

“Aku salah?” tanyaku lagi.

“Enggak kok. Iya ki-kita pake kamar mandi itu,” mereka saling sikut dan menjawab dengan gelagapan.

“Kalian sudah tahu cerita itu kan?” berharap dua gadis ini bisa memberiku petunjuk meski itu tidak berpengaruh besar.

“Enggak usah dibahas ya. Kita masih punya banyak tugas,” mereka terburu-buru pergi, meninggalkanku dengan seribu tanda tanya yang melekat dan enggan untuk angkat kaki. Percuma nyatanya bertanya pada mereka.

Mulutku terbuka dan segera menutupnya dengan telapak tangan kananku. Tangan kiriku menumpu kepala yang tergeletak di atas meja. Mataku berusaha untuk tetap terbuka untuk mencegah tersibaknya tragedi itu lagi.

“Makin lama Angkara ini ngelunjak deh. Caper banget sih jadi anak baru,” Astri mendobrak pintu kelas dan masuk dengan tak sopan. Aku mengangkat kepala dengan cepat. Semua anak terdiam, termasuk aku, ketika melihat gerombolan perempuan yang dianggap penting di sekolah ini. Satu angkatan tidak ada yang berani melakukan perlawanan, mereka pemaksa dan juga penindas.

“Tahu tuh, yang ditanyain siapa yang jawab siapa,” timpal Tyas, aku menyebutnya sebagai kompor. Selalu saja menyulut api dan terus membakar teman-temannya.

“Kita harus beri dia pelajaran lagi. Enggak ada kapok-kapoknya tuh anak,” tumben Astri memberi saran, biasanya dia hanya mengeluh dan marah-marah tak jelas.

“Menurut kamu gimana?” tanya Gendhis kepadaku—sejak kapan mereka duduk melingkari mejaku?

Aku bergeming, sembari mengarahkan telunjukku ke dada. Memastikan bahwa benar-benar aku yang mereka ajak untuk bicara. Mereka manggut-manggut, sama herannya denganku. Aku menggelengkan kepala, jelas itu bukan urusanku.

Mereka saling pandang, mengembuskan napas panjang dan kembali melanjutkan pembicaraan yang sempat tertunda.

“Kita lanjutkan saja,” Gendhis yang bertanya, dia sendiri yang menjawab. Setelah itu, aku tak berminat untuk mendengarkan perbincangan mereka. Hanya membuang waktuku saja.

Saat jam pelajaran kembali dimulai, aku pernah berpikir kenapa waktu di sekolah berjalan sangat lambat. Rasanya ingin terlelap tapi mimpi itu semakin kalap. Di sisi lain, mendengar guru sepuh menerangkan pembelajaran sejarah malah menjadi dongeng pengantar tidur untukku.

Aku tak sadar bagaimana bisa sampai di tempat ini. Ke depan ke belakang, sepasang kaki menjuntai dari kejauhan. Dengan wajah tertutup rambut hitam yang lebat, cukup sulit untuk mengetahui siapa dirinya. Dia seperti semua gadis yang kutemui di sekolah. Mungkin karena aku sendiri yang tak terlalu peduli sehingga semua teman-teman perempuan kupikir sama. Tapi yang jelas, sekarang aku tahu bahwa dia adalah kakak kelas.

Tak seperti biasanya, aku harus bisa berbincang dengannya sebelum dia melompat kembali. Sepatuku mulai menginjak tangga pertama, sembari berkali-kali melihat gadis itu agar tak lompat terlebih dahulu.

“Jangaaaan!” gagal, tepat setelah melangkahkan kaki, dia telah meregangkan nyawa.

“Nay, kamu kenapa?” Bu Sri menguasai indra penglihatanku. Berdiri dengan spidol hitam di tangannya dan tatapannya menyudutkanku.

“Cepat cuci muka! Kalau kamu sekali lagi tidur di kelas saya, silakan keluar. Pintu kelas selalu terbuka,” dengan separuh nyawa aku pergi ke tempat cuci tangan yang disediakan pada masing-masing kelas.

Saat air masih mengalir membasahi telapak tanganku, aku melihat Angkara memandangiku. Sebelum akhirnya dia kembali ke dalam kelas dengan was-was setelah melemparkan botol plastik ke dalam tempat sampah.

Ingin cepat pulang tapi kini malah terjebak dengan sapu kelas yang termutilasi. Membersihkan kelas seorang diri selepas bel favorit semua siswa berbunyi. Tapi ini lebih baik, daripada bersama banyak teman yang selalu berakhir dengan adu mulut karena saling tolak untuk mengerjakan piket. Aku tidak punya banyak waktu untuk mendengarkan omong kosong mereka, lebih baik menyelesaikan semuanya sendirian dan segera mencari tahu soal kakak kelas itu.

Tidak lupa untuk mematikan kipas angin yang selalu jadi permasalahan Pak Geger dengan anak-anak dan merapikan buku-bukuku yang tidak terurus di meja. Aku membaca beberapa nama teman-teman di antara buku-bukuku. Aku tidak merasa meminjam buku mereka tapi anehnya semua buku ini keluar dari dalam tasku. Besok saja kukembalikan, sekarang saatnya untuk pulang.

***

Jeritannya melengking di telingaku, napasnya memburu meminta ampun. Tiga gadis lain masih terus memberikan pelajaran yang mungkin tidak pernah gadis itu lupakan.

“Tolong, hentikan semua ini. Aku tidak kuat! Apa pun yang kalian minta, aku akan menurutinya,” gadis itu memohon, agar mereka bisa melepaskannya.

“Kamu pikir, dengan semua yang telah kamu lakukan pada sahabat kami, kamu bisa mendapatkan ampunan?”

“Kamu mungkin bisa mengatakan yang sejujurnya pada semua orang, bahwa sebenarnya kamu yang menjiplak karyanya. Tapi membersihkan namanya dari kotoran yang kamu buat memangnya kamu bisa?”

“Aku heran. Bagaimana bisa kamu merebut semua hati para guru dengan begitu cepat? Meyakinkan mereka bahwa kamu bisa mengalahkanku?”

“Aku tidak tahu. Tapi aku bisa mengembalikan semuanya seperti sedia kala. Aku mohon, maafkan aku,”

“Kembalikan semuanya yang dia miliki. Kamu enggak usah ikut campur lagi. Lebih baik jadi anak yang biasa-biasa aja ya. Cari aman,”

Gadis yang terpojok itu mengangguk dengan paksa, matanya memerah dan berkaca-kaca. Entah berapa banyak tangis yang sudah mengalir dari sana. Herannya, tidak yang tahu seberapa besar nyalinya hingga dia bisa berurusan dengan mereka. Anak baru yang tak mengerti tata krama.

“Baiklah, kamu bisa lepas. Tapi setelah kami puas,” senyum-senyum licik tergambar dari empat penguasa. Sebenarnya hanya satu penguasa, sisanya hanya numpang nama.

***

Napasku tertahan setelah melihatnya terbang beberapa detik sebelum menghempas tanah. Kicauan gagak menjadi musik pengiring kematian. Aku baru mampu membuka mata setelah keheningan kembali menerpa setelah dipecahkan oleh malapetaka. Cairan merah segar membasahi tanaman-tanaman yang sudah tumbuh sejak aku pertama masuk ke sekolah. Baru kali ini, akar-akarnya disirami oleh darah.

Sudah beberapa detik aku berdiri di tempatku tapi aku tak bangun-bangun. Aku mundur beberapa langkah, menampar pipiku sendiri agar terkejut dan berusaha mengembalikan diriku pada jasad yang seharusnya tertidur di kelas.

“Aaaaaaakh!” suara teriakan adik kelas berjas biru tua mengagetkanku di seberang gadis yang terbujur kaku. Ada orang baru dalam mimpiku?

“Tolooong!” sekarang dia berteriak, aku melihat banyak sekali orang berlarian. Beberapa menjauh mencari pertolongan, yang lain mendekat membunuh rasa penasaran, dan sisanya jatuh pingsan.

Dalam beberapa menit, lokasi kejadian dikerubungi oleh banyak orang. Gadis itu dibungkus dengan kantung berwarna jingga dan dimasukkan ke dalam ambulans yang sirenenya berbunyi sejak tadi.

Seorang perempuan menarikku dari kerumunan. Sekejap dia bertanya, “Nayaka, kamu enggak melakukan ini kan?”

“Apa maksudmu?”

“Nayaka, ikut saya ke ruang BK sekarang,” guru BK, Pak Suyit, mendatangiku dan menyuruhku untuk mengikutinya.

“Saya tahu, Angkara sedang berselisih dengan kamu karena kamu dituduh menjiplak karyanya. Jadi Nayaka, apa benar kamu yang membuat Angkara melakukan keputusan seperti ini?”

Aku menatap Pak Suyit dengan nanar. Mimpi itu bukan hanya masa lalu.

Lantai 2, November 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEKAR Edisi Bulan Mei-Juni 2023 | Jalan yang Terang untuk yang Bertahan oleh Bella Najwa Muzdha

PROFIL

LITERAFILM: HOME SWEET LOAN (2024)