SEKAR Edisi Bulan April 2023 | Merayan saat Terjaga oleh Savariya
Merayan
saat Terjaga
Sebuah
cerpen oleh Savariya
Sudut mataku menangkap seorang gadis yang duduk di
teras kelas X Bahasa. Helai-helai rambutnya melambai diterpa angin, menutupi
sebagian wajah dan membuatku tak mampu mengenalinya. Pintu-pintu kelas X masih
belum dibuka, dia datang terlalu pagi seperti diriku. Seekor burung gagak
mengepakkan sayap dan hinggap di atap kelas. Berkicau dan mengubah atmosfer
menjadi semakin suram saat awan hitam menutupi langit secara tiba-tiba.
Memandang gadis itu yang masih duduk di tempat sama membuat suasana kian
mengerikan. Aku tak dapat bergerak, tak bisa berteriak. Sepersekian detik
kemudian, tubuh gadis itu jatuh dan terjun dari lantai dua kelas yang tergolong
masih baru dibangun.
“Nay!” suara seseorang bergema di kepalaku.
Sontak aku mendongakkan kepala dan melihat papan
tulis dipenuhi dengan materi statistika. Lampu kelas yang padam membuat suasana
semakin gelap, saat aku tersadar bahwa mendung telah menyelimuti angkasa. Baru
saja aku mendengar suara seseorang yang memanggilku tapi ternyata sudah tidak
ada orang. Dengan terburu-buru aku membawa tas dan meninggalkan kelas yang
nyenyat.
Aku berlari semakin cepat agar segera sampai
melewati gerbang. Keluar dari tempat yang berubah menyeramkan akhir-akhir ini.
Namun, jantungku dipaksa berhenti berdetak untuk beberapa detik. Karena,
seseorang telah berdiri di gerbang seolah menyambutku dengan jas biru dan dasi
hitam di kedua tangannya. Seluruh tubuhku kaku, meminta tolong juga tak mampu.
Dia bergerak membalikkan tubuh, aku mengingatnya
meski tak tahu siapa dirinya. Dengan napas yang memburu, aku mengedipkan mata.
Mendadak dia maju beberapa meter dari tempatnya yang semula berdiri. Berjalan
dengan patah-patah dan menyeret jas serta dasinya. Kukedipkan mataku sekali
lagi, kami berpapasan.
***
Tubuhku terperanjat dan tersadar aku masih duduk di
bangku depan. Mimpi di dalam mimpi bersamanya. Bukan sekali dua kali, ini sudah
ketiga kalinya aku memimpikan dia saat mataku terpejam. Bahkan pada suasana
yang riuh di kelas saat jam istirahat, dia mendatangiku lagi. Ketakutan
menggerayangiku saat melihat dia harus terjatuh dari ketinggian dan
menghampiriku tiap malam.
“Kamu enggak papa?” Tyas, salah satu siswa yang
terkenal tajir menatapku dengan khawatir. Padahal beberapa menit yang lalu aku
hanya pamit untuk tidur sebentar, bukan menutup mata untuk selamanya.
“Di UKS aja kalau sakit,” imbuhnya saat aku tidak
menjawab pertanyaannya.
“Hanya mimpi buruk,” jawabku. Lalu merapikan bukuku
dan kumasukkan ke dalam tas hitam yang baru kubeli kemarin.
“Tapi kurasa aku akan pulang lebih awal,” kuputuskan
untuk memotong jam pelajaran dan kembali di rumah. Aku berusaha menjauhi sepi
agar tak mengingat mimpi itu lagi. Tetapi nyatanya, teror itu terus menghantui.
Kucangklong tas dengan niat meninggalkan kelas. Di
sisi lain, Tyas menghampiri beberapa temannya dan menunjuk-nunjuk diriku. Aku
tidak peduli. Sebelum meninggalkan sekolah, aku harus mengambil kartu izin di
tempat yang selalu kuhindari. Tempat membosankan itu berdiri di belakang kelas
X Bahasa. Agar tak lagi terbayang mimpi mengerikan itu, aku memilih untuk
memutar jalan. Melewati lapangan, menyapa beberapa teman di kantin kejujuran,
dan akhirnya sampai di depan pintu cokelat perpustakaan.
“Pak, permisi,” aku tak mendapat jawaban. Hanya
tumpukan buku berdebu yang berada di rak mencoba menyapaku dan sebagian
berserakan di lantai. Sisa-sisa kertas yang sudah digunting pergi ke sana
kemari karena disapu oleh kipas angin yang senantiasa hidup di langit-langit
perpustakaan.
“Pak,” kupanggil kembali petugas untuk kedua
kalinya. Tidak ada suara yang menyambutku.
Di samping komputer tua, beberapa kartu hijau
tergeletak di dalam kardus kecil. Tanpa pikir panjang, kuambil kertas itu dan kuisi
dengan identitasku. Berharap setelah aku pulang, aku bisa tidur nyenyak tanpa
gangguan perempuan itu lagi. Aku tidak tahu siapa gadis itu, apa hubungannya
denganku, dan kenapa aku harus memimpikannya dalam tiap tidurku.
Awalnya hidupku biasa-biasa saja—bahkan terlalu
biasa untuk diceritakan pada semua orang. Aku tidak pernah mencari masalah
dengan siapa pun. Kalau saja aku terjebak pada keramaian baku hantam, lebih
baik aku lari meski banyak orang menganggapnya asyik dan rugi untuk
ditinggalkan.
Tenggelam dalam sepinya perpustakaan dan
berkecamuknya pikiran adalah ruang nyata untuk mengundang ketakutan datang.
Suara ketukan di jendela membuatku terjingkat dari kursi plastik merah. Tanpa
berpikir positif, aku menyambar tas dan meninggalkan perpustakaan terkutuk itu
akibat berdekatan dengan kelas bahasa.
Sejujurnya, aku malas untuk meninggalkan sekolah di
saat-saat seperti ini. Aku harus menemui beberapa guru untuk dimintai tanda
tangan sebelum akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Tentunya dengan alasan yang
sebenarnya tidak sedang kurasakan. Tidak mungkin aku akan berpamitan karena aku
diteror mimpi buruk. Itu artinya aku membuka topeng bahwa kelas tidak lebih
dari tempat tidur bagiku.
Dengan pikiran yang kacau, aku mengurungkan niat
untuk melangkahi gerbang sekolah. Karena, di sisi lain menyadari bahwa jarak
antara sekolah dan rumah tidak dekat. Aku duduk di pos satpam seraya berbincang
ringan dan sambat ini itu. Aku dan satpam sekolah tidak cukup akrab tetapi dia
adalah orang yang baik, sehingga mudah untuk membujuknya agar aku diperbolehkan
untuk duduk di sana.
“Ngomong-ngomong soal bangkai kucing yang saya
temukan dua hari lalu, sampeyan(kamu) masih ingat tragedi di kelas
bahasa itu ndak pak?” obrolan ngalor-ngidul(ke sana kemari) tukang kebun
dan pak satpam mulai mendapatkan topik terarah. Sejak tadi aku hanya bisa
menangkap tentang kopi hitam, tembakau paling enak, dan akhirnya kucing hitam
menjadi jembatan percakapan mereka pada tema selanjutnya.
“Huust ndak usah bahas-bahas itu lagi lah. Udah
lama juga kejadiannya,” balas Pak Kusno yang sedang menaruh cangkir kopi di
atas meja.
“Lah, bukan begitu, maksud saya kan saya juga
kepingin tahu bagaimana ceritanya sampai dia mengambil keputusan yang
mengerikan. Medeni(menakutkan) lho Pak,” Tukang kebun ini memang
memiliki nama yang sesuai dengan perangainya, Geger, sukanya bikin keributan
dengan dalih penasaran.
“Sampeyan ini, sudah tahu medeni kok
ya diteruskan ceritanya. Tapi Pak, menurut kabar dari anak-anak, dia korban
bulu-bulu. Apa ya namanya, kalau anak zaman sekarang nyebutnya. Intinya
kekerasan gitu lho Pak,” ternyata dua orang ini sama saja. Awalnya pura-pura
tidak mau, tapi nyatanya malah diteruskan.
“Perundungan pak. Bulu-bulu apa tho sampeyan
ini,” aku menahan tawa agar tak meledak di sana.
“Ya itu wis(sudah) Pak. Terlalu keras
mungkin Pak, sampai imbasnya ke mental juga,”
“Saya itu enggak habis pikir aja. Siapa juga Pak
yang ndak kaget, pagi-pagi sudah nemuin mayat tiduran di tanah. Saya pikir
pingsan ternyata habis terjun dan getihe(darahnya) sudah ngalir ke
mana-mana,”
Aku menatap dua pria dewasa ini dengan tak percaya,
mereka membahas kasus bunuh diri di sekolah ini? Mereka menatapku juga. Pak
Kusno menepuk lutut Pak geger agar tak melanjutkan ceritanya.
“Kenapa Nduk(Nak)? Ndak tahu ceritanya ta?”
tanya Pak Geger padaku.
“Lho sampeyan ini, wis-wis ndak usah
dibahas. Bikin takut Nduke saja. Gimana Nduk sekolahnya?” Pak
Kusno mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
“Lancar Pak. Yang terjun itu siapa Pak? Di mana
kejadiannya?” aku kembali menarik mundur obrolan mereka.
“Kakak kelas kamu kalau ndak salah, kalau enggak
dua tahun lalu, ya tiga tahun lalu. Di kelas bahasa depan perpus itu Nduk,”
Pak Geger sangat antusias untuk menceritakan ulang tragedi itu. Sementara Pak
Kusno masih berusaha untuk mencari topik lain. Dilihat dari raut wajahnya, Pak
Kusno ingin sekali mengambil sandal untuk dilempar ke arah Pak Geger.
“Panjenengan(Anda) tahu siapa namanya ndak
Pak? Atau alamatnya mungkin?” tanyaku ragu. Mereka saling berpandangan dan
kompak menggelengkan kepala.
“Memangnya kenapa tanya begitu?” Pak Kusno malah
balik bertanya.
“Bukan apa-apa Pak. Cuma ingin tahu saja,” sudah
jelas aku berbohong. Aku tidak ingin melibatkan banyak orang pada masalah ini.
“Saya sih enggak kenal Nduk, coba kamu
tanyakan ke ruang guru. Biasanya kan ada yang nyimpan data siswa dari tahun ke
tahun,” saran Pak Geger yang membuatku mengangguk pelan.
Aku terdiam dan menatap lurus ke depan. Dapat
kudengar bisikan-bisikan dari Pak Kusno yang memarahi Pak Geger karena dia
meneruskan pembicaraan tabu itu. Berarti benar, aku memimpikan kakak kelas di
masa lalu. Jika boleh jujur, aku sangat membenci ini. Selain karena aku menjadi
lebih takut di sekolah, aku akhirnya terlibat dengan sesuatu yang gaib.
Padahal tiap kali teman-teman bercerita padaku soal
legenda simpang siur sekolah yang katanya bekas rumah sakit, kuburan, hingga
tempat pembantaian, aku selalu menepisnya. Menganggap semua itu hanya bualan
belaka. Anehnya, kini aku malah terjebak pada situasi yang sama sekali tak
kupercaya.
Aku berdiri dari tempatku duduk dan pergi dari pos
satpam, tentunya setelah berpamitan dengan bapak-bapak yang cukup banyak
omongnya. Niatku untuk pulang ke rumah lebih awal akhirnya kutunda. Mimpi yang
datang berulang kali itu, kupikir bukan kebetulan. Dia datang untuk meminta
pertolongan. Aku harus menyelesaikan ini secepat mungkin agar bisa kembali
tenang.
Namun, kakiku terpaku kendati melihat seorang gadis
berdiri di sisi lain gerbang. Jantungku berdetak kencang dan tak berani untuk
mengedipkan mata. Gadis itu adalah gadis yang menghabisi dirinya dan baru saja
diperbincangkan. Beberapa detik kemudian, sebuah sepeda motor melintas di
depannya, mengubah gadis itu menjadi seseorang yang kukenal.
Dia berdiri di tempat yang sama dengan tatapan mata
menusuk dibalut keresahan. Tak lama kemudian, dia menyebrang dan melirikku
dengan takut sembari menenteng plastik hitam.
“Dari mana Ra?” tanyaku.
“Am-ambil barang,” aku mengernyitkan dahi. Aneh,
dia terlihat gemetar saat lewat di sampingku. Dengan tergesa-gesa dia mencoba
menghindariku.
Aku membalikkan badan dan melihat tubuhnya semakin
menjauh. Sebenarnya, perlakuan barusan hanya sekadar formalitas. Aku termasuk
pada sebagian besar orang yang tak menyukai Angkara. Gadis itu baru masuk pada
semester ini tapi terlalu banyak bertingkah. Mencuri perhatian para guru dan
berusaha merebut posisi siswa terpintar di sekolah ini.
Tidak tahu juga bagaimana dia melakukan itu. Namun,
usut punya usut dia memplagiat karya siswa terpintar dan langsung dipercayai
oleh para guru. Mereka menuduh bahwa siswa yang sudah masuk dari kelas sepuluh
itu meniru karya Angkara. Yang benar saja, meski aku tidak tahu tepatnya,
tetapi aku lebih mempercayai penghuni lama. Angkara hanyalah pendatang dan
merusak ketenangan.
“Lho, kok balik ke sekolah? Katanya mau pulang,”
Pak Kusno menyadari berubahnya rute jalanku.
“Mboten sios wangsul Pak(Tidak jadi pulang
Pak),” jawabku lalu berlari menuju ke arah kelas. Aku mengambil jalan pintas
agar lekas sampai, meski harus melewati kelas X Bahasa yang selalu terlintas
dalam tidurku.
“Ketua kelas, mana ketua kelas?” aku masuk ke kelas
dengan tergopoh-gopoh. Menarik semua perhatian semua siswa yang ada di dalamnya.
Beruntungnya ini masih jam istirahat, kalau tidak mungkin aku yang akan di
lempar keluar kelas.
Seorang lelaki berponi dengan masker biru bercorak
polkadot mengangkat tangannya dengan gentar. Kulewati beberapa anak yang duduk
di bangku dengan melongo dan sedikit menggeser meja yang menghalangi jalanku.
“Biasanya data-data siswa yang menyimpan siapa?”
tanyaku tanpa basa basi.
“Bu-Bu Sati, di ruang TU,” jawabnya tergugup-gugup.
“Data lama di Bu Sati juga?”
“Kurang paham kalau data lama. Ta-tapi kamu bisa
tanya ke Bu Sati,”
“Bu Sati sekarang masuk enggak?”
Lelaki kurus ini menggeleng, menandakan tidak masuk
atau tidak tahu. Tapi dari raut mukanya, jelas dia takut.
“Bu Sati enggak masuk. Katanya ada keluarga yang
sakit,” aku menoleh pada asal suara dari pojok kelas. Seorang gadis berkuncir
kuda berdiri, lalu menciut takut saat aku melemparkan pandangannya padanya.
“Siapa dia?” tanyaku tanpa mengalihkan pandangan
dari gadis itu.
“Sekretaris kelas,” jawab ketua kelas yang sibuk
memundurkan kursinya dari hadapanku.
Aku menghela napas panjang. Aku tidak jadi pulang
dan aku tidak dapat apa-apa. Akhirnya aku kembali duduk di bangkuku.
“Kan aku wis ngomong, aja salin seragam ning
kunu. Ngeyel sih awakmu iki(Kan aku sudah bilang, jangan salin seragam di
sana. Ngeyel sih kamu ini),” seorang siswa yang tak kuingat lupa namanya masuk
dengan membawa baju olahraga. Mereka adalah siswa yang telat mengambil nilai
praktik mata pelajaran olahraga dan mungkin baru saja menyelesaikan persaingan
ketat dengan ledakan antrian kamar mandi di jam istirahat.
“Ya sapa sing ngerti(Ya siapa yang tahu),”
balas perempuan satunya sembari melengos ke sahabatnya.
“Kalian pakai kamar mandi kelas X Bahasa?” mendadak
mereka terkejut saat aku bertanya. Wajah dua gadis itu menciut seketika, aku
memasang raut keheranan.
“Aku salah?” tanyaku lagi.
“Enggak kok. Iya ki-kita pake kamar mandi itu,”
mereka saling sikut dan menjawab dengan gelagapan.
“Kalian sudah tahu cerita itu kan?” berharap dua
gadis ini bisa memberiku petunjuk meski itu tidak berpengaruh besar.
“Enggak usah dibahas ya. Kita masih punya banyak
tugas,” mereka terburu-buru pergi, meninggalkanku dengan seribu tanda tanya
yang melekat dan enggan untuk angkat kaki. Percuma nyatanya bertanya pada
mereka.
Mulutku terbuka dan segera menutupnya dengan
telapak tangan kananku. Tangan kiriku menumpu kepala yang tergeletak di atas
meja. Mataku berusaha untuk tetap terbuka untuk mencegah tersibaknya tragedi
itu lagi.
“Makin lama Angkara ini ngelunjak deh. Caper banget
sih jadi anak baru,” Astri mendobrak pintu kelas dan masuk dengan tak sopan.
Aku mengangkat kepala dengan cepat. Semua anak terdiam, termasuk aku, ketika
melihat gerombolan perempuan yang dianggap penting di sekolah ini. Satu
angkatan tidak ada yang berani melakukan perlawanan, mereka pemaksa dan juga
penindas.
“Tahu tuh, yang ditanyain siapa yang jawab siapa,”
timpal Tyas, aku menyebutnya sebagai kompor. Selalu saja menyulut api dan terus
membakar teman-temannya.
“Kita harus beri dia pelajaran lagi. Enggak ada
kapok-kapoknya tuh anak,” tumben Astri memberi saran, biasanya dia hanya
mengeluh dan marah-marah tak jelas.
“Menurut kamu gimana?” tanya Gendhis kepadaku—sejak
kapan mereka duduk melingkari mejaku?
Aku bergeming, sembari mengarahkan telunjukku ke
dada. Memastikan bahwa benar-benar aku yang mereka ajak untuk bicara. Mereka
manggut-manggut, sama herannya denganku. Aku menggelengkan kepala, jelas itu
bukan urusanku.
Mereka saling pandang, mengembuskan napas panjang
dan kembali melanjutkan pembicaraan yang sempat tertunda.
“Kita lanjutkan saja,” Gendhis yang bertanya, dia
sendiri yang menjawab. Setelah itu, aku tak berminat untuk mendengarkan
perbincangan mereka. Hanya membuang waktuku saja.
Saat jam pelajaran kembali dimulai, aku pernah
berpikir kenapa waktu di sekolah berjalan sangat lambat. Rasanya ingin terlelap
tapi mimpi itu semakin kalap. Di sisi lain, mendengar guru sepuh menerangkan
pembelajaran sejarah malah menjadi dongeng pengantar tidur untukku.
Aku tak sadar bagaimana bisa sampai di tempat ini.
Ke depan ke belakang, sepasang kaki menjuntai dari kejauhan. Dengan wajah
tertutup rambut hitam yang lebat, cukup sulit untuk mengetahui siapa dirinya.
Dia seperti semua gadis yang kutemui di sekolah. Mungkin karena aku sendiri
yang tak terlalu peduli sehingga semua teman-teman perempuan kupikir sama. Tapi
yang jelas, sekarang aku tahu bahwa dia adalah kakak kelas.
Tak seperti biasanya, aku harus bisa berbincang
dengannya sebelum dia melompat kembali. Sepatuku mulai menginjak tangga
pertama, sembari berkali-kali melihat gadis itu agar tak lompat terlebih
dahulu.
“Jangaaaan!” gagal, tepat setelah melangkahkan
kaki, dia telah meregangkan nyawa.
“Nay, kamu kenapa?” Bu Sri menguasai indra
penglihatanku. Berdiri dengan spidol hitam di tangannya dan tatapannya
menyudutkanku.
“Cepat cuci muka! Kalau kamu sekali lagi tidur di
kelas saya, silakan keluar. Pintu kelas selalu terbuka,” dengan separuh nyawa
aku pergi ke tempat cuci tangan yang disediakan pada masing-masing kelas.
Saat air masih mengalir membasahi telapak tanganku,
aku melihat Angkara memandangiku. Sebelum akhirnya dia kembali ke dalam kelas
dengan was-was setelah melemparkan botol plastik ke dalam tempat sampah.
Ingin cepat pulang tapi kini malah terjebak dengan
sapu kelas yang termutilasi. Membersihkan kelas seorang diri selepas bel
favorit semua siswa berbunyi. Tapi ini lebih baik, daripada bersama banyak
teman yang selalu berakhir dengan adu mulut karena saling tolak untuk
mengerjakan piket. Aku tidak punya banyak waktu untuk mendengarkan omong kosong
mereka, lebih baik menyelesaikan semuanya sendirian dan segera mencari tahu
soal kakak kelas itu.
Tidak lupa untuk mematikan kipas angin yang selalu
jadi permasalahan Pak Geger dengan anak-anak dan merapikan buku-bukuku yang
tidak terurus di meja. Aku membaca beberapa nama teman-teman di antara
buku-bukuku. Aku tidak merasa meminjam buku mereka tapi anehnya semua buku ini
keluar dari dalam tasku. Besok saja kukembalikan, sekarang saatnya untuk
pulang.
***
Jeritannya melengking di telingaku, napasnya
memburu meminta ampun. Tiga gadis lain masih terus memberikan pelajaran yang
mungkin tidak pernah gadis itu lupakan.
“Tolong, hentikan semua ini. Aku tidak kuat! Apa
pun yang kalian minta, aku akan menurutinya,” gadis itu memohon, agar mereka
bisa melepaskannya.
“Kamu pikir, dengan semua yang telah kamu lakukan
pada sahabat kami, kamu bisa mendapatkan ampunan?”
“Kamu mungkin bisa mengatakan yang sejujurnya pada
semua orang, bahwa sebenarnya kamu yang menjiplak karyanya. Tapi membersihkan
namanya dari kotoran yang kamu buat memangnya kamu bisa?”
“Aku heran. Bagaimana bisa kamu merebut semua hati
para guru dengan begitu cepat? Meyakinkan mereka bahwa kamu bisa
mengalahkanku?”
“Aku tidak tahu. Tapi aku bisa mengembalikan
semuanya seperti sedia kala. Aku mohon, maafkan aku,”
“Kembalikan semuanya yang dia miliki. Kamu enggak
usah ikut campur lagi. Lebih baik jadi anak yang biasa-biasa aja ya. Cari
aman,”
Gadis yang terpojok itu mengangguk dengan paksa,
matanya memerah dan berkaca-kaca. Entah berapa banyak tangis yang sudah
mengalir dari sana. Herannya, tidak yang tahu seberapa besar nyalinya hingga
dia bisa berurusan dengan mereka. Anak baru yang tak mengerti tata krama.
“Baiklah, kamu bisa lepas. Tapi setelah kami puas,”
senyum-senyum licik tergambar dari empat penguasa. Sebenarnya hanya satu
penguasa, sisanya hanya numpang nama.
***
Napasku tertahan setelah melihatnya terbang
beberapa detik sebelum menghempas tanah. Kicauan gagak menjadi musik pengiring
kematian. Aku baru mampu membuka mata setelah keheningan kembali menerpa
setelah dipecahkan oleh malapetaka. Cairan merah segar membasahi
tanaman-tanaman yang sudah tumbuh sejak aku pertama masuk ke sekolah. Baru kali
ini, akar-akarnya disirami oleh darah.
Sudah beberapa detik aku berdiri di tempatku tapi
aku tak bangun-bangun. Aku mundur beberapa langkah, menampar pipiku sendiri
agar terkejut dan berusaha mengembalikan diriku pada jasad yang seharusnya
tertidur di kelas.
“Aaaaaaakh!” suara teriakan adik kelas berjas biru
tua mengagetkanku di seberang gadis yang terbujur kaku. Ada orang baru dalam
mimpiku?
“Tolooong!” sekarang dia berteriak, aku melihat
banyak sekali orang berlarian. Beberapa menjauh mencari pertolongan, yang lain
mendekat membunuh rasa penasaran, dan sisanya jatuh pingsan.
Dalam beberapa menit, lokasi kejadian dikerubungi
oleh banyak orang. Gadis itu dibungkus dengan kantung berwarna jingga dan
dimasukkan ke dalam ambulans yang sirenenya berbunyi sejak tadi.
Seorang perempuan menarikku dari kerumunan. Sekejap
dia bertanya, “Nayaka, kamu enggak melakukan ini kan?”
“Apa maksudmu?”
“Nayaka, ikut saya ke ruang BK sekarang,” guru BK,
Pak Suyit, mendatangiku dan menyuruhku untuk mengikutinya.
“Saya tahu, Angkara sedang berselisih dengan kamu
karena kamu dituduh menjiplak karyanya. Jadi Nayaka, apa benar kamu yang
membuat Angkara melakukan keputusan seperti ini?”
Aku menatap Pak Suyit dengan nanar. Mimpi itu bukan
hanya masa lalu.
Lantai 2, November 2021
Komentar
Posting Komentar