SEKAR Edisi Bulan Juli 2023 | Amenable oleh Zakya Annisa Rahma
Amenable
Sebuah cerpen karya Zakya Annisa Rahma
Hari Sabtu sore. Weekend. Sudah sewajarnya kampus sepi. Terutama
ruang kelas, banyak yang sudah kosong. Dosen dan mahasiswa sudah banyak yang
pulang dari sesi pertemuan tambahan atau jadwal pengganti. Di satu ruangan ada
dua orang yang sedang sibuk dengan buku mereka. Membaca beberapa materi
sekaligus berdiskusi sedikit mengenai mata kuliah yang tiga jam lalu
disampaikan oleh profesor.
“Hei,” salah satu dari mereka membuka percakapan kembali. Setelah dua
puluh menit sebelumnya penuh keheningan.
Lawan bicaranya menjawab dengan deheman.
“Akhir-akhir ini, kamu ngerasa ada yang aneh enggak?” tanyanya.
“Apa?” Dibalas pertanyaan. Tidak ada lanjutan percakapan. Membuat yang
terakhir berucap mengangkat pandangannya, menatap temannya penasaran.
“Angga, sayangku, cintaku, kurang-kuranginlah nanya tanpa konteks terus
bikin orang penasaran,” kata perempuan dengan rambut diikat.
“Dih, ngomong gitu sama cewek aja, aku yang cowok jijik dengernya,”
ledek laki-laki dengan rambut berombak. “Kamu, kurusan enggak sih, Ta?”
Perempuan yang dipanggil Tata menaikkan alisnya, raut wajahnya berubah
sedikit. “Eh, iya kah? Kelihatan ya? Cakepan enggak?”
Cibiran terdengar keras. “Pipimu itu lho, makin tirus kayak enggak
dikasih makan setahun.”
“Makin mirip artis Korea kan? Mirip Han So Hee.”
“Makin enggak jelasss!” Angga menyeret kata terakhirnya.
Percakapan tersebut berlanjut hingga lembaran catatan terlupakan.
***
“Habis ini mau ngebakso di tempat yang kemarin enggak?” tanya Angga
memasang helmnya. Mereka sedang berada di tempat parkir.
“Enggak deh, aku mau langsung balik ke kosan,” jawab Tata ringan.
“Makan dulu. Sudah malam, nanti malah enggak makan apa-apa.”
“Gampang, bisa pesan online.”
“Eh, mahal. Mending ngebakso. Itung-itung nemenin aku.” Angga masih
berusaha.
“Dih, malam minggu gini mending ngajak pacarmu itu,” sindir Tata dengan
tatapan sinisnya.
“Mana ada.”
“Bukannya cabangnya setiap fakultas ya?”
“Ngawur. Sudah, nemenin aja. Nanti aku traktir.” Angga menstarter motornya,
memberi kode untuk Tata naik ke motornya.
“Enggak deh, aku mager mau makan,” tolak Tata, tetapi tetap naik ke
motor Angga. “Aku nemenin aja.”
“Makan aja mager, mau disuapin?” tawar Angga.
“Najis. Cepetan jalan!”
***
Angga dengan luwes memesan dua porsi bakso, sebelum Tata sempat menolak.
Wajah perempuan itu langsung masam. Sementara temannya hanya tertawa puas.
“Sama-sama,” kata Angga.
“Enggak mau bilang makasih,” sanggah Tata. “Kebiasaan, suka maksa.”
“Kalau enggak dipaksa, enggak makan. Nanti aku bilang apa ke tante?”
Angga memberi alasan disertai pertanyaan.
“Kamu enggak ada kewajiban buat ngabarin ke mamaku ya…” Tata
melotot.
“Makan aja, apa susahnya sih. Kalo enggak habis nanti aku yang
ngabisin.” Angga memilih memainkan sendok sambal di depannya. Menunjukkan dia
tidak mau berdebat lebih lanjut.
Sebagai orang yang sudah berkawan lebih dari satu periode kepresidenan,
Tata tahu gelagat laki-laki di depannya. Ia memilih melengos dan mengeluarkan
gawainya.
Tidak sampai sepuluh menit, dua mangkuk bakso terhidang di depan
keduanya. Tata menatap mangkuk miliknya. Lima bakso polos dengan mi bihun dan
dua tahu putih tanpa seledri dan bawang goreng. Persis yang biasa dia pesan.
Tapi kali ini sepertinya…
“Kebanyakan,” ucap Tata pelan, tetapi masih tertangkap oleh telinga
Angga.
Angga mendorong botol kecap ke depan mangkuk Tata. “Segitu doang, sekali
suap habis. Lihat nih, punyaku.”
Mangkuk pesanan Angga terlihat dua kali lebih penuh dari milik Tata.
Komplit dengan bakso urat, siomay, mi kuning, dan pangsit goreng. Bawang goreng
bertaburan di atasnya. Angga memang selalu meminta bawang goreng yang banyak,
tapi kali ini mungkin bapak pedagang bakso sedang berbaik hati menumpahkan satu stoples ke mangkuknya.
Tata tidak membalas perkataan Angga, memilih mengaduk kuah baksonya
tanpa minat. Gerungan tidak nyaman keluar dari mulutnya.
“Kamu makan pakai mata?” sindir Angga gemas. “Lima menit enggak makan,
aku suapin beneran.”
“Iya, iya, bawel,” jawab Tata menunjukkan kekesalan.
Pelan, Tata menyuapkan bakso ke mulutnya.
“Duh, suwine rek, koyok Putri Solo (Duh, lamanya, seperti Putri
Solo).” logat Jawa Timur Angga keluar mengomentari tingkah Tata. “Selak
kabur bakule, nunggoni kamu (Keburu lari yang jual, nungguin kamu).”
Tata hanya melotot membalas komentar Angga.
Sudah tentu mangkuk Angga tandas lebih dulu dibandingkan Tata. Perempuan
itu menatap Angga sekian detik sebelum akhirnya mendorong mangkuknya yang masih
berisi tiga bakso. “Kenyang,” katanya singkat.
Angga yang sudah terbiasa dengan kelakuan sahabatnya hanya mengerutkan
alis, tapi tidak banyak bicara mentransfer isi mangkuk ke dalam perutnya.
“Mau ke toilet, sebentar.” Tata berpamitan singkat. “Jangan ditinggal,”
tambahnya mengingat tragedi sebelumnya, di mana Angga meninggalkannya di kafe
saat ia pergi ke toilet.
Sahabatnya itu hanya mengibaskan tangannya, memberikan kode tanpa
ucapan.
***
Tata menatap horor ke kloset di toilet. Bukan karena kondisinya yang
kotor. Warung bakso langganan Angga dan Tata tempatnya cukup bersih, termasuk
toiletnya. Mungkin karena warung ini juga menjadi satu bagian dengan rumah
pedagangnya.
Tangan Tata menekan perutnya.
“Enggak …”
Dengan cepat, tangannya naik. Memasukkan dua jari ke mulutnya, mencoba
mencapai kerongkongan.
“Uhk.” tersedak. “Belum …”
Jarinya mencoba lagi. Mengeluarkan apa yang sudah masuk sebelumnya.
Pikiran Tata kalut.
‘Kumohon jangan,’ batinnya. ‘Jangan sampai menjadi lemak. Ayo
keluar.’
‘Tata jangan menyerah!’ Dalam otak Tata menyemangati dirinya
sendiri. ‘Ingat Tata, enggak ada cowok yang mau sama cewek gendut. Makanya
kamu enggak punya pacar sampai sekarang. Kalau Angga punya pacar, enggak ada
yang bareng kamu lagi. Kamu bakal dibuang. Ayo Tata!’
“Haahhh …” Tata mencoba bernafas, beberapa isi perutnya keluar. Tapi
masih belum cukup.
‘Harusnya tadi aku enggak makan,’ batin Tata.
‘Tapi nanti Angga bakal ngejauh. Tata, kamu harusnya sadar diri.
Angga mau jadi teman karena kasihan. Kalau kamu tambah gendut nanti Angga bakal
ngejauhin kamu! Sudah jelek, gendut lagi!’
Tata menekan kepalanya ke dinding. Suara-suara di dalam kepalanya
menyakitkan dan menyebabkan pening. Setelah mencoba mengeluarkan semuanya, Tata
membasuh tangannya.
‘Kamu harus sempurna Tata. Harusnya kamu berhenti makan setelah
melihat dirimu itu. Apa bedanya kamu dengan ikan buntal? Bahkan ikan buntal
lebih indah darimu.’
‘Tidak apa-apa. Kamu bisa terus makan. Bukannya kamu ingin Angga membencimu?
Kamu ingin begitu kan? Kamu ingin semua orang menjauhimu karena kamu menjadi
makluk buruk rupa? Setelahnya kamu bermimpi bertemu pangeran seperti beauty
and the beast? Naif.’
Tata mencoba menyeimbangkan dirinya, setelahnya ia keluar dari toilet.
Terlihat istri pedagang bakso memandangnya khawatir.
‘Sial.’
“Mbak, enggak papa? Ibu dengar tadi kayak muntah-muntah,” kata ibu
tersebut khawatir.
Sebuah senyum berusaha dipamerkan Tata di wajahnya. “Enggak papa, Bu.
Saya cuma masuk angin.”
“Mau minyak kayu putih? Ibu punya di rumah.” Ibu baik hati itu
menawarkan.
“Enggak usah, Bu. Enggak papa,” tolak Tata.
‘Lihat Tata, kamu payah. Bahkan kamu membuat orang asing repot karena
dirimu.’
Dari cermin yang dipasang di dinding berhadapan dengan toilet, Tata
dapat melihat refleksi dirinya. Mata dan hidungnya merah. Karet rambutnya
turun, menyebabkan rambutnya terlihat berantakan.
“Astaga.” lidah Tata kelu. Penampilannya benar-benar berantakan.
“Saya cuci muka saja, Bu,” kata Tata pada ibu yang setia menatapnya.
“Oh, iya mbak. Kalau butuh minyak kayu putih atau minyak telon bilang
ya, Ibu punya,” kata Ibu itu, lalu meninggalkan Tata.
‘Tata, kamu pembawa sial.’
Perempuan itu mencuci mukanya di wastafel depan cermin. Menatap wajahnya
sekali lagi. Ia tidak ingin terlihat menyedihkan di depan orang lain dan
Angga. Ikatan rambutnya diperbaiki.
‘Oke, Tata. Kamu cuma harus tersenyum. Iya. Kamu harus tetap senyum, jangan sampai orang lain tahu kalau kamu sedang tidak baik-baik saja. Tidak baik merepotkan orang lain dengan masalahmu. Itu egois.’
‘Dan kamu tahu? Semua orang benci orang yang egois.’
TAMAT
Komentar
Posting Komentar