SEKAR Edisi Bulan Juli 2023 | KELOPAK LILI DI HATI LITA oleh Evita Wijayanti
KELOPAK
LILI DI HATI LITA
Sebuah cerpen oleh Evita Wijayanti
Di balik
teriknya pancaran sinar mentari, aku duduk santai menghirup udara sejuk di
bawah pohon rindang. Sedikit demi sedikit kuminum es doger segar hingga tandas
menanti kedatangan para sohibku yang lamanya bagai siput pergi ke China.
Setelah aku menunggu sekitar tiga puluh menit, muncullah Dinaya bersama Riska
dari arah rusun putri. Apabila ditelaah dengan teliti, jarak rusun putri dengan
tempat berkumpulnya kami berlima hanya berkisar tak sampai seratus meter tetapi
mengapa mereka baru datang setelah tiga puluh menit lewat dari kesepakatan?
Begitulah wanita. Antara ucapan dengan tindakan hanya selisih sepuluh persen
persamaannya.
Kini
kami berlima duduk pada deretan nomor dua dari belakang. Setelah lima belas
menit kedatangan Dinaya bersama Riska, Rea dan Silfa datang menyusul. Kisaran
45 menit secara keseluruhan aku menanti kedatangan mereka dan kami berangkat
bersama untuk mengikuti mata kuliah umum pertama di semester kedua perkuliahan.
Ketika lima belas menit dosen mengajar, dari arah pintu terdengar suara
gebrakan yang sangat keras mengejutkan seisi penghuni kelas. Dari balik pintu,
muncul seorang perempuan dengan wajah penuh keringat seperti usai berlari
maraton tiga ratus kilometer. Setelah mengucapkan permohonan maaf dan
mengungkapkan alasan keterlambatannya kepada sang dosen, perempuan tersebut
diizinkan untuk duduk dan mengikuti perkuliahan. Aku akui sedikit terkejut
begitu melihat wajah perempuan tersebut dan kulihat ia juga sedikit terkejut
pula melihat keberadaan diriku yang duduk tepat di belakangnya. Melihat responsku
padanya yang tampak aneh, Rea yang duduk tepat di sebelahku lantas menyikut
lenganku dan melirik pelan. Aku hanya menggelengkan kepala padanya sebagai
tanda bahwa tidak ada apa-apa.
Sebuah notifikasi muncul dari
aplikasi berwarna hijau dengan gambar ikon telepon milikku. Kubaca pesan
tersebut yang datang dari Rea. Rupanya anak ini tidak bisa untuk di bohongi.
Dia akan terus bertanya hingga mendapatkan jawaban yang ia inginkan.
“Nanti
aku ceritakan setelah kelas ini selesai!” begitu balasku padanya. Rea
benar-benar menanyakan kembali setelah kelas selesai. Rea tahu bahwa ini
merupakan cerita panjang sehingga ia mengajak aku dan kami berempat ke kos Silfa sebagai tempat markas yang sudah kita nobatkan berlima.
“Aku
tidak tahu harus cerita dari mana. Intinya perempuan yang datang terlambat tadi
pernah menjadi orang terdekatku di masa sekolah dulu,” awal ceritaku kepada
mereka berempat. Mereka tampak serius menyimak, tidak ada yang menyela sedikit pun.
Aku memang terlihat paling brutal di antara mereka berempat, tetapi melihat
perubahan sikapku yang berbeda membuat mereka mengerti bahwa aku sedang tidak
baik-baik saja.
“Sekarang aku tidak tahu harus
menyebutnya apa? Sahabat? Teman? Atau lawan?” lanjutku kemudian. Dinaya
mengacungkan tangan sebagai pertanda hendak bertanya “Maksudnya kalian dulu
pernah bersahabat kemudian karena ada masalah tertentu menyebabkan kalian jadi
musuhan? Atau dulu kau mempunyai sahabat karib dan sahabatmu itu mempunyai
kawan lain yaitu perempuan tadi sehingga si perempuan tadi merasa cemburu
akibat kedekatanmu dengan sohibmu sehingga ia merusak persahabatanmu?” Aku
menggelengkan kepala mendengar pertanyaan Dinaya yang tentu menyebabkan rasa
penasaran bagi Rea, Silfa, Riska, dan Dinaya sendiri.
“Dugaanmu yang pertama benar Din,
aku dulu bersahabat dengannya. Ke mana-mana kita selalu berdua, makan bersama,
bermain bersama, semuanya kami lakukan hanya berdua. Hingga suatu ketika ada
seorang laki-laki menghampiri kami berdua dan dengan tiba-tiba ia menyatakan
perasaannya pada Ayu, kawanku itu. Awalnya aku terkejut melihat laki-laki
tersebut datang menghampiri kami dan dengan beraninya mengungkapkan rasa suka.
Dia mengajak pacaran Ayu yang notabenenya ia adalah anak pak ustaz terkenal di
daerahku pada masa itu. Jawaban yang Ayu berikan pada lelaki itu yang membuatku
sangat terkejut. Ayu dengan berani menerima cinta laki-laki tak jelas itu dan
mereka berdua pergi meninggalkanku sendiri. Aku bingung harus bagaimana. Antara
melapor kepada ayah Ayu apa tidak, tetapi melihat pancaran kebahagiaan
dari kedua mata Ayu membuatku tak tega. Dengan berat hati aku menerima
keputusan Ayu. Menjadi suatu pertanyaan besar yang muncul dari lubuk hatiku,
sejak kapan Ayu menyukai lelaki bernama Davi itu? Mengapa Ayu tidak pernah
bercerita mengenai perasaannya? Kusampingkan dulu alasan itu dari hatiku dan
menganggapnya sebagai angin lalu. Mungkin saja Ayu membutuhkan privasi mengenai
perasaannya. Begitulah anggapanku,” ceritaku.
“Hingga suatu hari Ayu datang padaku
dan menuduh diriku melakukan pemalsuan jawaban Ujian Semester Pertama yang
membuatnya mendapat nilai begitu jelek. Awalnya aku terkejut begitu Ayu
menanyakan jawaban ujian padaku. Biasanya kami hanya bertukar pikiran pada saat
kegiatan belajar mengajar saja dan pada saat ujian, kami akan bersaing secara
sehat. Dengan penuh tanda tanya aku tetap memberikan jawaban ujianku padanya
yang tentu saja jawaban itu sama persis denganku tanpa ada perubahan
sedikit pun. Ayu tetap menuduhku berbuat curang atas masalah itu dan saat itulah
hubungan persahabatan kami renggang. Untuk memperbaiki hubungan kami berdua,
aku berusaha meminta maaf padanya walau sebenarnya aku tak tahu di mana letak
kesalahanku. Bukan penerimaan maaf yang aku dapatkan, malah cacian dan makian
yang aku terima dari mulut Ayu. Seumur hidup, baru kali ini Ayu memperlakukan
hal itu padaku. Kian hari teman-teman lain tidak ada yang mau berkawan
denganku. Posisi Ayu sebagai pacar Davi menjadi alasan utama mereka tidak mau
berkawan denganku. Davi yang menjadi ketua geng anak-anak nakal tak segan untuk
membully siapa saja yang berteman denganku,” sambungku. Mereka masih
serius mendengarkan.
“Saat hari kelulusan tiba, aku
berharap Ayu datang dan meminta maaf setelah apa yang telah ia lakukan padaku.
Namun hasilnya nihil. Ia tak datang dan karena itu pula membuat tekad bulat
pada diriku untuk melupakannya. Kejadian itu membuatku sedikit trauma dalam hal
pertemanan. Namun, setelah aku mengenal kawan lain selain ia dan mengenal kalian
berempat. Hal ini membuatku sadar bahwa di balik cobaan pasti ada hikmahnya,”
aku tersenyum mengakhiri ceritaku. Sebuah pelukan hangat datang dari Silfa
kemudian disusul oleh Riska, Dinaya, dan Rea.
“Kami
akan selalu bersamamu Lit,” ucap Riska disela tangisnya. Aku tak tahu mengapa
mereka menangis begitu mendengar cerita yang sudah enam tahun aku kubur
dalam-dalam. Namun, aku percaya pada mereka untuk menceritakannya. Karena,
kunci dari pertemanan adalah rasa saling percaya, bukan?
Tak terasa Ujian Akhir Semester datang
juga. Sebagai tugas UAS, dibentuklah beberapa kelompok yang terdiri dari
masing-masing enam orang untuk melakukan penelitian. Awalnya kami berlima hendak
mengajak Adi si ketua kelas untuk bergabung, tetapi secara tiba-tiba Ayu datang
menghampiriku dan disambut dengan lirikan tajam oleh mereka berempat.
“Boleh
aku bergabung dengan kelompokmu, Lit?’ tanyanya padaku. Aku menoleh kepada
mereka berempat dan dibalas dengan gelengan keras.
“Kami
hanya menerima teman yang mau diajak bekerja sama bukan teman yang suka
berfitnah,” sindir Dinaya.
“Masuk
kelompok lain saja,” tambahnya.
Terlihat raut kecewa dari wajah Ayu
mendengar perkataan Dinaya. Segeralah Ayu pergi dari hadapan kami tetapi dengan
cepat ia mendapat cekalan tangan dariku. Begitu ia menoleh, aku tersenyum
mengangguk padanya dan membuat sudut bibir Ayu ikut tersenyum. Selama proses
pengerjaan tugas, semua beban tugas seperti mengetik, mencari narasumber,
hingga membuat laporan dikerjakan pribadi oleh Ayu atas inisiatif dari dirinya
sendiri. Awalnya aku hendak menentang tindakannya tapi dihentikan oleh Rea.
“Anggap
saja ini hukumannya dulu yang sudah menyepelekan kawan baik seperti kamu, Lit,”
ucap Rea di kala itu.
Setelah pemaparan presentasi dari
pembuatan tugas UAS berakhir, kami berempat hendak beranjak pergi dari kelas.
Aku mendengar seseorang memanggil diriku yang menyebabkan aku menghentikan
langkah kaki. “Lita, bisa kita bicara?” aku menyanggupi permintaan Ayu dan kini
kami berada di kantin perpustakaan kampus dan duduk di bangku paling pojok.
Spontan Ayu menggenggam tanganku dan menangis tersedu-sedu menimbulkan tanda
tanya besar di pikiranku.
“Ada apa,
Yu?” tanyaku khawatir.
“Aku minta maaf padamu, Lit. setelah
acara perpisahan SD kita dulu, aku akui tidak ada teman sebaik dirimu. Aku
sadar telah melakukan kesalahan besar padamu. Aku lebih mempercayai hasutan
orang lain daripada jawaban sahabat aku sendiri. Waktu kita bertemu kembali di
kelas MKU, aku senang bercampur malu. Senang akhirnya ada kesempatan bagiku
untuk meminta maaf padamu, tapi aku malu untuk bertemu apalagi teringat dengan
kejadian dulu saat aku menghina dan mencemooh dirimu. Rasa bersalah terus
menghantui diriku, senyuman dan ketulusan yang kau berikan dulu masih terngiang
menambah kebersalahan dari lubuk hatiku. Aku mohon yang sebesar-besarnya,
maafkan aku Lit … hikss” ungkap Ayu sambil menangis tersedu. Kuulurkan tanganku
mengusap air matanya membuat dia menoleh padaku.
“Perbuatanmu sudah aku maafkan, Yu,” jawabku sembari tersenyum tulus padanya. Ayu sontak memeluk erat diriku dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi. Tak jauh dari tempatku duduk, dapat aku lihat sahabat-sahabatku tersenyum bahagia melihat kedekatanku dan Ayu kembali. Tampaklah senyuman lega dan terlihat suatu tekad yang bulat dari pancaran mata mereka berempat untuk selalu menghargai sahabat, memercayainya, serta memberikan support terbesar dalam hidupku. Mereka tidak akan pernah menyia-nyiakan sahabat yang sudah mau menjalani suka duka bersama.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar