SEKAR Edisi Bulan Juli 2023 | Behind the Rainbow oleh Friscela Yona Nagifea
Behind the Rainbow
Sebuah cerbung oleh Friscela Yona Nagifea
Ada
saatnya terlintas dalam pikiran untuk mempelajari bahasa burung. Bukan semata
untuk saling bercakap mengeluarkan aksara, akan tetapi saling bertaut untuk
menyampaikan pesan kepada awan tentang mengapa ia begitu muram. Warnanya
kelabu, tidak lagi ditemani oleh langit biru.
Pagi itu
merupakan satu dari ribuan pagi yang mampu membuat tubuh menggigil. Semerbak
bau khas tanah yang lembap, juga ikut turun tangan meramaikan indra penciuman.
Udara di Desa Pronojiwo selalu saja sejuk sehabis hujan. Embun yang tertampung
dalam bendungan daun selalu menetes ke tanah. Desa yang dipenuhi warna hijau
ini masih belum terjamah oleh gedung-gedung pencakar langit. Yang ada hanyalah
berhektar-hektar tanah berisi jajaran padi bersama pepohonan di kanan kiri
serta atap coklat dari rumah sederhana jika dilihat dari atas.
Di
temani sebuah sketchbook dan pensil berwarna biru, seorang pemuda
terduduk mematung memandangi objek yang ada di depannya. Tak berselang lama
kemudian bibir pemuda itu menarik sebuah senyum puas.
“Sial,
kenapa baru sekarang,” gumamnya seraya membuka lembar demi lembar sketchbooknya.
Seolah
mengetahui apa yang juga ingin dilihat oleh pepohonan di sekitarnya, angin
sepakat untuk berembus kencang menyebabkan anak rambut hitam legam pemuda itu
berlambai-lambai. Beberapa kali kepala itu mendongak lalu menunduk untuk
mencoba mengcopy paste apa yang ditangkap oleh mata cokelatnya ke
dalam sketchbook yang ia pegang.
Tak
sadar dengan waktu yang ia habiskan, pria itu merasa harus kembali pada benda
yang ia sebut sebagai rumah. Kaki jenjangnya melangkah dengan hati-hati
menuruni bebatuan berlumut yang menjadikannya licin. Sekilas ia melihat seorang
gadis berparas cantik yang sedang mendongakkan kepalanya. Rambut yang sengaja
dibiarkan terurai itu pun menari-nari tertiup angin.
Tunggu!
Ada yang aneh. Mengapa gadis itu mendongak mantap awan yang masih enggan
menampakan blue sky. Heran? Tentu saja. Namun, ia mencoba acuh kembali
dan membawa kakinya untuk meinggalkan tempat yang beberapa hari terakhir ini
menjadi tujuannya.
Sebenarnya, entah mengapa ia menjadi salah satu fenomena paling indah sehabis hujan. Warna yang beragam, mampu membuat siapa saja terpaku atas keindahannya. Terkagum-kagum atas ciptaan Tuhan. Pelangi. Pelangi sendiri tercipta karena pembiasan cahaya yang dilakukannya bersama tetesan air bernama hujan. Yang kemudian cahaya itu akan di belokkan dan menyebar menghasilkan warna yang beragam. Dari proses itu tidak menutup kemungkinan banyak orang yang menyukai pelangi tetapi membenci hujan. Jika memang membenci hujan, mengapa harus menanti pelangi?
***
“Dari
mana Al, kok enggak bilang kalau keluar?” kejut ibu.
“Ya
Allah, Bu. Untung enggak jantungan aku, Bu,” sahut Alfan dan tak ada yang
menimpali.
“Ibu, enggak
bercanda Alfan Maulana. Bisa-bisa ibu sama ayahmu yang kena serangan jantung
kalau kamu belum pulang!” tegur ibu tampak sedikit marah karena perilaku
putranya.
Muhammad
Alfan Maulana, remaja berambut hitam legam yang sedang menenteng tas berisi
alat gambarnya memasang muka cemberut karena diberi sedikit ceramah.
“Padahal
aku hanya pergi sebentar, kenapa kalian selalu saja berlebihan. Di mana nenek?”
tanya Alfan mengganti topik pembicaraan.
Kedua orang
tua Alfan hanya mampu mengembuskan napas berat. Sebenarnya mereka tidak
bermaksud terlalu mengekang Alfan mengingat anak itu juga sudah memasuki usia
remaja. Akan tetapi, ada sesuatu yang harus mereka jaga dengan baik setiap
detiknya jika tidak ingin menangis tersedu-sedu di kemudian hari.
Di sisi
lain, sepelan langkah kaki harimau yang ingin memangsa kelinci, Alfan berusaha
mengejutkan pasutri tua yang sedang menikmati hawa dingin ditemani kepulan asap
panas dari teh yang telah mereka buat.
“Kakek
sudah tau, Al!” ucap kakek.
Kaki
kanan Alfan mengapung di udara. Untuk ukuran seorang kakek yang sudah melewati
masa jayanya, menurut Alfan kakeknya itu terlalu peka.
“Ah. Enggak
seru,” gerutu Alfan.
Mendengar
nada bicara cucunya yang sedikit merajuk, pria berkepala tujuh itu menengok ke
belakang. “Kamu kira Kakek ini siapa, dulu Kakek itu tentara Indonesia yang
mencoba melawan penjajah Belanda, tentu saja insting Kakek tajam.”
Senyum Alfan mengembang, “Kek, tolong bujuk ayah dan ibu,”
“Apa
lagi yang mau kau minta? Coba katakan pada kakek!” tanya kakek.
“Kek,
aku ingin tinggal di sini. Aku suka pemandangannya. Tolong bujuk Ayah dan Ibu
ya Kek, Nek.” Alfan menyengir kuda. Ia menggosok hidungnya dengan jari telunjuk
dan melanjutkan.
“Nanti
aku akan membantu kalian, aku janji. Akh akh Nek, jangan tarik telingaku,”
nenek menjewer telinga Alfan.
Setelah
melayangkan beribu-ribu rayuan, akhirnya Alfan mendapatkan izin untuk tinggal
bersama dengan kakek neneknya. Bukan hanya Alfan, Alfin saudara kembarnya juga
turut ikut tinggal untuk menemani Alfan katanya.
Waktu
yang seperti roda berputar membawa penumpangnya menyusuri hari demi hari yang
panjang. Tak terasa sudah satu bulan lebih 4 hari Alfan hidup di desa ini.
Orang tua Alfan kembali ke Jember untuk melanjutkan pekerjaan. Meskipun
demikian, setiap 2 minggu sekali mereka akan berkunjung untuk membawa Alfan ke
Jember untuk melakukan transfusi darah dan kembali setelahnya.
Jika
Alfan boleh berbicara, sebenarnya ia ingin merasakan masa muda seperti
remaja-remaja lainnya. Membahagiakan kedua orang tua, dan kemudian merasakan
jatuh cinta. Selama 20 tahun masa hidupnya, tidak pernah Alfan merasakan jatuh
cinta. Kegiatannya sehari-hari sangat sibuk untuk membuat kenangan bersama
orang-orang kesayangannya. Akan tetapi, pada saat berkunjung ke desa kelahiran
ayahnya ini ia seperti menemukan sesuatu yang janggal dalam hatinya. Denyutnya
akan terasa sangat kencang bila mengingat gadis yang sempat ia jumpai kala itu
di Air Terjun Kapas Biru.
Di
sela-sela lamunan, secara tiba-tiba perhatian Alfan teralihkan pada ketukan
pintu. Yang secara tidak sengaja juga menarik perhatian orang seisi rumah.
“Al,
coba bukakan pintunya!” perintah Nenek.
“Selamat
pagi. Apakah ada yang bisa kuban--” ucapan Alfan tergantung saat mengetahui
siapa yang berkunjung. Mata cokelatnya menatap lurus mata hitam legam dari
gadis yang saat ini ada di hadapannya, alhasil hal tersebut membuat Alfan salah
tingkah tak karuan.
“Oh
maaf. Sepertinya aku salah rumah.” suaranya lembut.
“Apa ada
yang bisa kubantu?” tanya Alfan sekali lagi mengulang pertanyaannya dengan
benar.
“Aku
ingin pergi ke rumah Bu Qom. Sepertinya aku salah rumah. Maaf, aku permisi
pergi dulu.” jawab gadis tersebut.
Alfan
sedikit mengerutkan keningnya tak mengerti. Mata yang ia tatap dengan
berseri-seri itu ternyata kosong, menghadap lurus ke depan. Sepertinya kini
Alfan paham bahwa gadis yang ada di hadapannya saat ini tunanetra alias tidak
bisa melihat. Jangan lupakan tongkat instisblind yang terkalung manis di
tangan kiri gadis itu.
“Siapa
yang datang, Al? Oh Lily!” sebelum Alfan menjawab, neneknya usdah tahu siapa
yang datang.
“Bu
Qom?” gadis itu membalikkan badannya lagi. “Ah ternyata benar?”
“Kamu
benar Nak. Ayo masuk dulu. Al, kenapa diam saja. Bantu Lily masuk, bukan malah
melamun,” ujar sang nenek, menyuruh cucunya yang malah terdiam di ambang pintu.
Jadi
namanya Lily? Cantik seperti bunga lily.
Komentar
Posting Komentar