SEKAR Edisi Maret 2023: Kisahku dalam Panji Laras, Panji Liris | Isnaini Nikmah
Kisahku dalam Panji Laras, Panji Liris
Oleh Isnaini Nikmah
“Hidup di
desa itu enak.”
Entah kalimat
tersebut ditujukan untuk desa mana, nyatanya aku yang sudah 28 tahun hidup di
desa berkeinginan untuk pindah keluar kota. Hal ini bukan tanpa sebab, setiap
hari telingaku dijejali nyinyiran tetangga mengenai nasib diriku yang belum
juga dipinang pemuda.
Ya, perawan tua.
Julukan itu
kerap aku terima dan terus memenuhi pikiran, entah sampai kapan stempel yang
diberikan tetangga nyinyir tersebut hilang dari diriku. Ayolah, umurku baru
menginjak 28 tahun dan sekiranya masih pantas untuk hidup melajang.
Imbas dari
julukan tersebut banyak dari ibu-ibu yang sibuk merecokiku
dengan memperkenalkan anak lelakinya, seperti menyombongkan harta, takhta, dan, paras
ketampanan yang tak seberapa. Berharap aku akan luluh, tentu
tidak semudah itu. Bagi masyarakat desa,
seorang gadis memang harus dinikahkan cepat-cepat. Penduduk di sini biasanya
akan menjodohkan anaknya di umur 20 tahun, khususnya bagi perempuan. Sepertinya
budaya cepat menikah harus dihapuskan mengingat hal ini bertentangan dengan
emansipasi wanita, misalnya mereka yang ingin mengejar kariernya.
Oh ya,
perkenalkan namaku Garwati biasanya orang sini memanggilku dengan sebutan Wati,
dalam bahasa Jawa Garwa artinya istri. Ini
menunjukkan bahwa nama tidak menentukan nasib seseorang. Walaupun namaku ada arti ‘istri’, tetapi hingga saat ini belum juga menyandang gelar istri seseorang. Jika
kalian berpikir aku belum menikah karena sedang sibuk menjadi wanita karier,
tentu itu salah besar. Setiap harinya aku membantu Ibu mengolah ikan asap,
mengingat mata pencaharian penduduk di sekitar pantai utara Lamongan adalah
nelayan. Selain itu, aku juga bekerja sampingan dengan berjualan online,
karena di zaman ini mencari pekerjaan hanya bermodalkan ijazah SMA terbilang
sulit.
Julukan
perawan tua diberikan lantaran aku dipandang terlalu pemilih terhadap lelaki,
sejujurnya aku telah menjalin hubungan dengan seorang pria selama empat tahun,
Randi namanya. Aku mengenalnya secara tidak sengaja, waktu akan mengantarkan
pesanan baju ke pembeli tiba-tiba saja aku ditabrak oleh motor Randi. Sejak
saat itu, kami selalu berhubungan hingga suatu ketika Randi memantapkan
hatinya untuk melamarku, terdengar klise memang. Dia pun datang ke rumahku
seorang diri, katanya dia ingin mengakrabkan dirinya lebih dulu dengan ibu
karena selama ini aku tidak pernah membicarakan kedekatanku dengannya. Saat itu
perasaanku sangat bahagia, tetapi siapa sangka kebahagiaan
tersebut tidak bertahan lama. Aku masih mengingat percakapan ibu dan
Randi pada saat itu.
“Nak Randi, kenal
Wati dari mana?”
tanya ibu waktu itu.
Lalu, mengalirlah awal mula
pertemuan kami dan tiba di pertanyaan, “Nak Randi, orang
mana?”
“Kediri, Bu,” jawab Randi.
Mendengar itu, wajah ibu yang semula sumringah mendadak tak enak dilihat. Aku yang tidak tahu perubahan ekspresi Ibu disebabkan oleh apa hanya mengangkat bahu kepada Randi.
“Wati, Kamu iki
piye toh[1]? Pacaran sama orang
Kediri enggak omong-omong,” tegur ibu, dari sini perasaanku mulai tidak enak.
“Kamu itu
orang Lamongan enggak boleh nikah sama orang Kediri. Kamu enggak lihat, Mas Pram tetangga belakang rumah nikah sama orang Kediri terus
cerai,” secara tidak langsung Ibu tidak merestui kami.
“Jika Mbahmu[2]
masih ada sudah dimaki-maki kamu, tahu cucunya nikah sama orang Kediri.”
imbuh ibu
Karena,
larangan zaman dulu yang masih terikat di desa kami, ibu pun
meminta maaf kepada Randi untuk tidak melanjutkan hubungan ini ke jenjang yang
lebih serius.
Saat itu
juga, Randi memutuskan hubungan tanpa ingin memperjuangkannya lagi. Dasar
lelaki. Padahal jauh di lubuk hatiku, aku masih
mencintainya. Tetapi mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Setidaknya, bubur
masih bisa di makan.
Begitu pun
hubunganku dengannya masih ada harapan. Namun, hingga
saat itu aku tidak tahu kabar darinya, dia seolah sudah tidak peduli. Sementara aku sendiri hingga sekarang belum ingin menjalin hubungan dengan
pria lain lagi, miris sekali.
***
Hari yang
agak mendung ini, keluargaku akan mengadakan lamaran. Intinya
bukan aku yang melamar, lebih tepatnya sepupu perempuanku dari pihak keluarga ibu. Ya,
melamar bukan dilamar. Inilah yang unik dari kotaku
Lamongan. Pihak perempuan akan datang lebih dahulu untuk melamar, sejatinya
tidak ada yang keliru. Dahulu di zaman Rasulullah, Siti Khadijah pun datang
lebih dulu untuk melamar Rasulullah SAW. Tradisi pihak wanita yang melamar
lebih dulu masih berkembang di wilayah sekitar pantai utara
Lamongan. Namun, saat ini mulai tergerus seiring modernisasi dan pola pikir
masyarakat yang berkembang. Lelaki adalah pemimpin keluarga kelak, jadi harus
mempunyai keberanian untuk datang melamar pujaan hatinya.
Aku mematut
diriku di depan cermin. Gamis merah marun yang aku padukan dengan hijab coklat susu,
sungguh kali ini aku kelihatan sangat manis. Selesai dengan kegiatan memoles
wajah. Aku pun memilih keluar dari kamar.
Tampak
jajanan beraneka ragam berjejer di lantai dengan alas talam warna-warni dan
hiasan pita cantik di atasnya. Kue-kue yang beraneka macam, ada kue lemet,
gemblong, dan yang paling identik di kota Lamongan adalah wingko, jajanan yang
berasal dari kelapa dan gula.
“Wati,”
panggil Ibu yang baru keluar dari dapur.
“Enggeh,
Bu?[3]” sahutku.
“Coba kamu
lihat Mbak Vita, sudah siap atau belum. Mobilnya udah
nungguin di depan,” titah
ibu.
Mbak Vita,
dia adalah anak dari kakak ibu atau sepupuku yang akan
melamar hari ini.
Walaupun dari segi umur lebih tua aku, tetapi aku menghormatinya dengan memanggilnya Mbak karena dilihat dari
silsilah keluarga.
Masuk ke
kamar Mbak Vita bau wangi tercium di pengindraan. Dia duduk di kursi rias dan
mengenakan kebaya simpel warna coklat pastel, terlihat anggun. Aku sempat
membayangkan kapan aku berada di posisi Mbak Vita.
“Ada apa,
Ti?” lamunanku buyar tatkala Mbak Vita bertanya.
“Ah iya, Mbak
disuruh menemui yang lain jika sudah siap,”
“Aku sudah
siap dari tadi. Ya sudah ayo!” ajaknya penuh semangat.
Mbak Vita
keluar mendahuluiku.
Saat dia keluar kamar, terdengar seisi
rumah memujinya.
“Gusti
Pengeran Kang Maha Agung, ayu tenan anakku,”[4] takjub bude Marni,
ibu dari Mbak Vita.
“Ti, kamu
kapan dipinang? Jangan jadi perawan tua loh,”
celetukan itu membuat moodku runtuh seketika. Mulai-mulai,
sungguh apakah pikiran ibu-ibu di sini mengenai aku hanya
tentang perawan tua saja, batinku menggerutu.
Aku memilih
tidak menggubrisnya, sudah bosan meladeni pertanyaan seperti itu.
“Sudah-sudah
ayo ini barangnya diangkut ke mobil, nanti keburu kesiangan sampai ke sana.”
itu adalah perkataan ibu. Ya kali
ini ibu membelaku. Mungkin beliau tidak mau masalah ini berkepanjangan atau Ibu juga
malu punya anak yang belum menikah.
Perjalanan
kami diisi oleh ibu-ibu yang mengobrol ngalor-ngidul[5]. Sekiranya
apa yang terlihat di pandangan akan menjadi perbincangan, mulai dari
pemuda-pemudi berboncengan, truk membawa ikan, hingga sinetron kesayangan yang
tak ketinggalan. Sementara aku memilih diam dan menyimak, sudah kepalang malas sejak insiden
di rumah tadi.
***
Sekitar 30
menit mobil sampai di kediaman calon suami Mbak Vita. Rumahnya
sederhana dengan model Jawa masih melekat di sana, lokasinya dekat dengan Alun-alun
Lamongan mungkin hanya berjarak 1 km dari sini.
Tiba-tiba ide
terlintas begitu saja di pikiranku. Aku tidak ingin
ikut acara lamaran tersebut. Lebih baik aku pergi
mengunjungi alun-alun saja, hitung-hitung cari udara segar. Sejatinya walaupun
aku asli orang Lamongan tapi belum pernah singgah ke sini, mungkin hanya
lewat.
“Ibu,” aku
berbisik ke telinga ibu.
“Iya apa?” sahut ibu.
“Aku ingin
keluar sebentar mengunjungi temanku, kebetulan dia di sini. Boleh
ya, Bu?”
izinku.
“Kamu ini
bagaimana toh, kesini niatnya ikut lamaran malah dolan[6],” tegur
ibu.
“Iya Ibu,
sebentar saja. Hitung-hitung menyambung tali silaturahmi, hehehe.” aku beralasan agar aku bisa keluar dari
sini. Maaf Ibu, terpaksa aku
berbohong,
batinku.
“Ya sudah
sana. Jangan lama-lama apalagi sampai waktu nanti pulang, ibu-ibu yang
lain cariin kamu,” akhirnya ibu mengizinkan.
“Beres, Bu.” jawabku.
Aku pun
memilih meninggalkan tempat tersebut dan mengunjungi alun-alun. Di sini banyak
wahana permainan, lapangan basket, taman baca, monumen pesawat, dan di seberang
terdapat Masjid Agung. Selesai melihat di sekitar alun-alun aku memilih untuk
istirahat di depan Masjid Agung. Di depan masjid tersebut
terdapat dua gentong suci, konon ini adalah awal mengapa orang Lamongan
dilarang menikah dengan orang kediri. Gentong tersebut sedang dibersihkan oleh
seorang bapak-bapak kisaran umur 50 tahun, sepertinya beliau
marbut masjid. Aku pun memilih menghampiri bapak
tersebut.
“Assalamualaikum,
Pak,” ucapku
menyampaikan salam.
“Eh, Waalaikumsalam. Ada
apa, Nak?” bapak
tersebut sedikit terkejut dengan kehadiranku.
“Bapak sedang
apa?” tanyaku basa-basi.
“Ini loh Nak,
membersihkan gentong suci peninggalan zaman dulu, tahu kan ceritanya.” jawabnya sembari membersihkan gentong
tersebut.
“Tahu Pak,
tapi bolehkah saya mendengarkan ceritanya langsung dari Bapak. Mungkin
cerita yang selama ini saya dengar ada yang keliru,” pintaku.
“Boleh. Memang
sepatutnya generasi muda mengetahui sejarah daerahnya sendiri.” aku pun mulai mendengar kisah dari bapak
tersebut.
***
Dahulu,
pemerintahan Bupati Lamongan dipimpin oleh Raden Puspokusumo, dia memiliki dua
anak laki-laki kembar yaitu Panji Laras dan Panji Liris. Kedua anak tersebut,
memiliki kebiasaan mengembara di kota-kota. Saat
itu Panji Laras dan Panji Liris pergi ke kota Kediri. Hal ini diketahui oleh
Andansari dan Andanwangi, anak dari Bupati Wirosobo. Kedua perempuan tersebut
terpesona dengan ketampanan Panji Laras dan Panji Liris. Berhari-hari mereka
membayangkan paras ketampanannya hingga dirundung sakit. Setelah ditelusuri
mengenai riwayat penyakitnya ternyata kedua perempuan tersebut sedang sakit
asmara. Melihat kondisi putrinya, Bupati Wirosobo pun mengutus orang untuk
menyampaikan lamaran kedua putrinya kepada Panji Laras dan Panji Liris. Lamaran
tersebut tak langsung diterima, mengingat keyakinan antara kedua belah pihak
berbeda. Namun, demi menghormati lamaran dari bupati kediri, Raden Puspokusumo
mengajukan sebuah syarat. Andansari dan Andanwangi harus
membawa gentong suci dan alas tikar dari batu serta harus dibawa sendiri-sendiri. Maksud dari gentong suci dan alas
tikar adalah keduanya harus memeluk agama islam, tetapi keduanya tidak tahu makna dibaliknya.
Tibalah
Andansari dan Andanwangi berangkat menuju kali Lamong dengan membawa
persyaratan yang telah disepakati. Saat itu kondisi perairan di kali Lamong
sedang dangkal. Di tepi kali, Andansari dan Andanwangi
melihat Panji Laras dan Panji Liris yang tak kunjung menjemput mereka. Karena
kedua putri kembar sudah tak sabar, mereka memutuskan untuk menyeberangi kali. Tiba-tiba, di tengah-tengah kali mereka berdua menyingkap kain dan
terlihatlah betis mereka yang ditumbuhi bulu-bulu panjang. Melihat
hal itu Panji Laras dan Panji Liris nampak terkejut sekaligus geli. Saat itu
juga kedua lelaki kembar tersebut memutuskan untuk membatalkan lamaran hanya
perihal bulu di betis. Lantas prajurit Kediri menyerang prajurit Lamongan dan
timbullah perpecahan antara keduanya. Andansari dan Andanwangi memilih untuk
bunuh diri sedangkan Panji Laras dan Panji Liris terbunuh dalam peperangan
tersebut. Melihat kondisi anaknya yang terbunuh, Raden Puspokusumo pun mengutuk
bahwa orang Lamongan dilarang menikah dengan orang Kediri.
***
Aku duduk
sila di depan Masjid Agung Lamongan sambil mendengarkan cerita dari Bapak ini.
Gentong suci dan alas tikar menunjukkan bahwa legenda itu benar adanya.
“Pak, apakah
selama ini ada yang melanggar kutukan tersebut dan
pernikahannya tidak langgeng?” tanyaku setelah mendengarkan cerita
tersebut.
“Saat ini
kutukan tersebut sudah banyak yang melanggar, buktinya banyak orang Lamongan
menikah dengan orang Kediri. Jika dilihat dari hubungannya ada yang
langgeng, ada juga yang mengalami banyak cobaan dan berpisah. Intinya
kembali lagi pada pribadi masing-masing memilih mempercayainya atau tidak.” jawab bapak tersebut.
“Empat tahun
silam, saya menjalin hubungan dengan orang Kediri, Pak. Namun
orang tua saya melarang, takut jika di tengah jalan ada apa-apa,” aku pun
menceritakan permasalahanku, tentang pertemuanku hingga niatan Randi untuk melamarku.
“Pantangan
tersebut memang masih kuat di kalangan orang zaman dulu. Mereka
lebih memilih jalan aman agar tidak menyesal kemudian.” terangnya.
Aku merenungi
kisah hidupku dalam legenda Panji Laras dan Panji Liris. Bisa dibilang legenda
tersebutlah yang juga menjadi penyebab hingga kini aku hidup melajang. Jika
saja legenda tersebut tidak ada mungkin saat ini aku hidup bahagia bersama
orang yang aku cinta.
Sebuah bunyi
di ponselku menyadarkan aku dari lamunan. Sebuah telepon
dari ibu, aku pun sadar bahwa sudah satu jam lebih aku berada di sini.
Mungkin ibu-ibu yang lain sedang menungguku untuk pulang. Aku tidak menjawab
telepon Ibu tetapi mengirimkan pesan singkat, aku akan kembali ke sana. Setelah berpamitan dengan bapak
itu, aku pun memilih pulang.
Benar
dugaanku di depan rumah calon keluarga Mbak Vita berdiri rombongan kami,
sepertinya sedang menungguku, matilah aku.
“Itu bukannya
Wati?” salah satu rombongan kami, menyebutku sambil menuding ke arahku.
“Assalamualaikum. Maaf harus menunggu lama.” ujarku.
“Waalaikumsalam,
dari mana saja kamu, perawan tua sukanya keluyuran.” jawab bude
dengan wajah pias menahan amarah.
Aku tidak
menjawab hanya menunduk saja.
“Maaf atas
keteledoran Wati, nggeh ibu-ibu,” ibuku
menengahi situasi yang mulai memanas.
Karena malu
dilihat keluarga calon mertua Mbak Vita, ibu pun
menengahi permasalahan tersebut. Kami para rombongan pun memilih pulang tak lupa
berpamitan kepada keluarga calon mertua Mbak Vita. Di sepanjang jalan,
tidak ada pembicaraan seperti di awal. Semua tampak diam entah itu karena
mengantuk atau sebab perkara tadi.
***
Malam yang
temaram dengan ditemani semilir angin tenang, aku menatap langit hitam di
balik jendela.
Malam ini terasa mamang antara kembali
menyatukan hubungan yang empat tahun dihadang mitologi kutukan atau stagnan.
Tepukan di pundak menyadarkan lamunan, rupanya Ibu yang sedang bertandang.
“Belum tidur, Bu?”
tanyaku.
“Baru mau
tidur, tapi lihat lampu kamarmu belum dimatikan ibu ke sini. Ibu
pikir kamu ketiduran,” ujar ibu sambil duduk di tepi ranjangku.
“Hehehe. Belum ngantuk, Bu,” sahutku.
“Mikirin
apa?” memang Ibu yang paling mengerti kegundahan hati anaknya.
Aku menghela
napas kasar, menatap wajah ibu yang mulai banyak guratan. Langsung saja
aku menceritakan kisahku tadi siang tak lupa perbincanganku dengan Bapak tua
itu. Belum juga aku menyimpulkan maksud dari perkataanku tadi, ibu
sudah menyimpulkan.
“Jadi maksud
kamu mau kembali menjalin hubungan dengan orang Kediri itu?” tanya ibu. Aku buru-buru
menyelanya
“Enggak, Bu. Aku
sudah tidak pernah hubungan lagi sama dia, sejak saat itu Randi menghilang
dariku,” jelasku.
“Bagus,
sampai kapan pun Ibu tidak setuju kamu menikah dengan orang Kediri. Wasiat
orang zaman dulu harus dituruti, jika dilanggar takutnya terjadi hal yang
tidak-tidak. Kalau begitu besok kamu tak kenalkan lagi sama anaknya Bu Nanik,
semoga saja berjodoh. Ibu kasihan sama kamu umur segini setiap harinya
merenung. Malam jadi siang, siang jadi malam,” ibu mengusap puncak kepalaku.
Hadeh. Entah
pemuda ke berapa yang dikenalkan ibu padaku. Pemuda
yang di bawa ibu tidak ada yang masuk dalam kriteria jodoh idaman, hanya pemuda
Kediri itu. Tapi itu dulu, sepertinya kali ini aku harus menerima supaya
saran ibu supaya aku tidak lagi dicap sebagai perawan tua.
Setelah
pembicaraan itu, Ibu nampak sumringah dan berlalu keluar dari kamarku. Meninggalkan
aku sendiri yang menatap kilatan cahaya bintang.
Sekali lagi
aku menghela napas kasar. Merenungi nasib yang terjadi padaku, ingin menentang
percuma, ingin melanggar takut Allah murka. Apa yang Allah takdirkan menjadi
milik kita tidak mungkin meleset sedikit pun, meskipun
semua orang menghalangi. Begitu juga kalau tidak ditakdirkan untuk kita, mau seluruh makhluk mendukung, sampai kapan pun tak akan
jadi milik kita. Belajar yakin bahwa takdir Allah itu terbaik buat hambanya.
Lamongan, 07 Maret 2023
Komentar
Posting Komentar