Bertahan di Tengah Pandemi | Herna Apiani K

 

Bertahan di Tengah Pandemi

Herna Apiani K.

Setelah adzan isya’ berkumandang semua terasa sunyi, itulah yang dirasakan oleh Afralia Harefa. Sekitarnya memanggil dia dengan sebutan Alia. Alia hidup di sebuah desa terpencil yang banyak terhampar persawahan disekitar rumahnya. Dia hanya hidup berdua bersama ayahnya. Meskipun setiap malam di desanya tidak seramai di kota, tapi Alia tetap merasa nyaman karena selalu dapat bertukar cerita di setiap malam dengan ayahnya. Ibunya meninggal saat dia masih kelas 6 SD, semenjak itu ayahnya selalu ada untuk menjadi pendengar yang baik buat Alia.

            Kursi kayu yang berdencit menyadarkan Arman, Ayah Alia, dari pandangannya terhadap buku yang ia baca sejak tadi. Arman hanya melihat sekilas, lalu  kembali melanjutkan bacaannya.

            “Ayah,” Panggil Alia, yang tadi menimbulkan suara kursi kayu itu. Kini dia kembali mengganggu pandangan Arman dari bakunya. Lagi lagi arman berhenti membaca buku itu dan menatap Alia.

            “Alia pengen ngomong serius, Yah.” Akhirnya Arman menutup bukunya, meletakkan buku itu di meja coklat yang telah terlihat tua.

            “Ada apa Al?” Tanya Arman pada putrinya. Alia menunduk menatap kakinya yang sejak tadi gerak-gerakkan. Dia bingung dan takut untuk membicarakan persoalan ini kepada ayahnya, tapi dia harus mengatakan keinginannya.

            “Kenapa Al?” Ulang Arman kepada Alia.

            “Alia ingin berhenti kuliah Yah, lalu mencari kerja bantu Ayah melunasi utang-utang ke Pak Ardi,” ucap Alia. Dia tidak berani menatap Ayahnya, dia berbicara dengan menatap kearah kaki yang sejak saat ini masih ia gerak-gerakkan.

            “Tidak, Ayah tidak setuju. Bukankah kita sudah sepakat sejak awal, bahwa kamu harus sarjana?” Ujar Arman.

            Alia mendongakkan kepalanya, menatap Sang Ayah yang secara langsung menolak penuturannya tadi.

“Tapi Yah, aku tidak tega melihat ayah seperti ini ….” Tiba-tiba ucapan Alia tertahan, karena Ayahnya yang tiba-tiba bersuara.

“Karena Ayah di PHK, karena utang-utang Ayah banyak, karena kamu takut Ayah tidak bisa membayar uang kuliahmu, itu yang kamu kasihani dari Ayah?” Suara Arman terdengar lebih tinggi dari seblumnya.

“Bukan seperti itu maksud Alia, tapi di masa pandemi seperti ini pasti sulit untuk ayah mencari kerja kembali. Biaya kuliah Alia juga menjadi beban buat kehidupan kita saat ini. Alia masih semester 2 Yah, jadi tidak apa-apa jika keluar di semester muda seperti ini,” ucap Alia.

Tiba-tiba Arman tersenyum, “Hidup bukanlah tentang masalah yang harus dipecahkan Nak, tetapi kenyataan yang harus dihadapi. Kita hanya perlu bertahan dan terus berjalan di masa-masa sulit seperti ini. Biarkan ayah yang berjalan mencari nafkah untukmu, dan kamu bertahan untuk tetap kuliah meski kita berada di masa-masa sulit seperti ini, Biarkan ayah berjuang sampai melihatmu menjadi seorang sarjana,” ucap Arman sambil mengelus-ngelus rambut putrinya, tapi yang runtuh malah justru air mata putrinya.

“Alia bangga sama ayah dan Alia sayang ayah,” ucap alia yang kini telah memeluk ayahnya dengan erat. Armanpun membalas pelukan putrinya dengan dekapan.

“Tapi Yah, bagaimana jika Alia sudah menjadi sarjana tapi pekerjaan Alia tidak sebanding dengan ijazah Alia. Contoh saja, Alia hanya bekerja di toko atau hanya di pabrik sebagai buruhnya saja. Bagaimana dengan omongan orang nanti Yah, jika Alia seperti itu?” Tanyanya tiba-tiba, lalu Arman melepaskan pelukannya lalu menatap putrinya.

“Menjadi seorang sarjana tidak menjadikanmu seorang yang serba bisa Al, kamu masih harus menyesuaikan dulu, mencari pengalaman dulu dan belajar banyak hal lagi. Kamu pikir Ayah langsung kerja dengan gaji besar? Tidak Al, Ayah memulai kerja sejak umur 15 Tahun sebagai Kuli, penjaga kapal, jadi pembersih kapal, bekerja di kapal dengan gaji kecil, dimana kerja berat yang Ayah lakukan tidak sebanding dengan gaji yang ayah terima. Semuanya bertahap Al, kamu juga butuh banyak kenalan sana sini. Nanti kamu coba aja melamar di beberapa tempat. Tidak apa-apa menjadi bawahan dulu, tidak perlu mendegarkan omongan orang,” ucap Arman.

 

“Alia lega setelah mendengarkan hal itu dari Ayah. Alia juga seneng karena Ayah tidak banyak menuntut Alia untuk menjadi ini dan itu. Makasih ya Yah, udah selalu support  sejauh ini Alia,” jawab Alia. Arman membalasnya dengan senyuma disusul dengan elusan pelan di rambut putrinya.

Memutuskan untuk kuliah saja, Alia telah menadapatkan banyak hambatan dari Paman dan keluarga lainnya. Semenjak Ayahnya di PHK dua bulan yang lalu, keuangan keluarganya  menurun. Saat ini Ayahnya hanya bekerja di sawah milik orang yang penghasilannya bisa dikatakan sangat kecil. Oleh karena itu keluarganya melarang Alia untuk melanjutkan studinya ke jenjang perkuliahan, tapi Ayahnya selalu mengatakan bahwa Alia harus menjadi sarjana. Aliapun memilki keinginan yang sama, tapi keadaan memang tidak memungkinkan. Akan tetapi pada akhirnya Alia diterima jalur SNMPTN yang menjadi jalan keluarnya untuk kuliah. Paman maupun kelurga lainnya bungkam disaat Alia mendapatkan kesempatan emas itu.

Ternyata benar yah bahwa kita tidak boleh patah karena keadaan. Kita tidak boleh jatuh karena kondisi keuangan. Semua bisa tumbuh di keluarga manapun, meski harus melangkah tertaih-tatih, bertahan dengan kesakitan. Sebab semuanya akan berlalu, kita hanya perlu bertahan. Tumbuhlah bersama tangis, kegagalan dan kekalahan, karena dari sanalah kamu akan belajar bahwa kesakitan akan menghasilkan kekuatan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEKAR Edisi Bulan Mei-Juni 2023 | Jalan yang Terang untuk yang Bertahan oleh Bella Najwa Muzdha

PROFIL

LITERAFILM: HOME SWEET LOAN (2024)