Sisa Harapan di Tengah Senja | Ratri Septia Vidiana Diari


 Sisa Harapan di Tengah Senja

Ratri Septia Vidia Diari

 

“Ah panas sekali!”

“Masih belum ada yang laku.”

Sambil mengusap wajahnya, Pak Jono membuka ciloknya yang masih belum terjual sama sekali. Hari mulai terik, matahari seperti di atas kepala. Pak Jono berkeliling dari perumahan satu ke yang lainnya. Tapi banyak pintu masuk yang ditutup. Kali ini perumahan ke empat, yang dilalui Pak Jono. Dengan mengayuh sepedanya Pak Jono percaya diri bahwa kali ini dia dibiarkan masuk ke perumahan untuk menjajakan ciloknya.

“Maaf Pak pedagang dilarang masuk!”

“Lho kenapa mas?” tanya Pak Jono.

“Lingkungan di sini sedang melakukan pembatasan Pak, jadi hanya warga sini yang boleh memasuki kawasan perumahan”.

“Saya hanya ingin berjualan mas, sedari tadi pagi cilok saya belum laku”. Kata Pak Jono menjelaskan.

“Saya minta maaf Pak, ini sudah peraturan.”

Begitulah penolakan yang diterima Pak Jono. Ia mulai putus asa, sedangkan hari sudah mulai beranjak sore. Kini hanya di jalan raya ia menjajakan dagangannya. Jalanan tak ramai seperti biasa, tampak lengang. Hanya beberapa toko di pinggir jalan yang buka. Lelah berkeliling Pak Jono berhenti di sebuah pos kosong. Ia mengelap keringatnya dan minum air yang dibawanya dari rumah. Sambil mengelap keringatnya, Pak Jono terbayang wajah anak dan istrinya di rumah. Betapa ia merasa bersalah kepada keluarganya, karena sampai sore hari ini ciloknya belum laku. Di tengah lamunannya, tiba-tiba ada seorang lewat. Sontak Pak Jono dengan senyum ramahnya menawarkan dagangannya.

“Cilok mas”

“Kelihatannya mas lapar, silahkan bisa buat ganjal perut”

“Terimakasih pak tidak, saya tidak lapar”

Sambil menghela nafas orang itu berhenti dan duduk di pos kosong. Pak Jono yang melihatnya seperti merasa khawatir karena orang itu terlihat lemas dan cemas.

“Mas tidak apa-apa?” tanya Pak Jono.

“Saya baik-baik saja Pak.”

Tanpa ragu Pak Jono memberikan sebungkus cilok dagangannya kepada orang itu.

“Ini Pak”. Sambil menyerahkan cilok

“Eh saya enggak lapar kok Pak”

“Tidak apa-apa mas, saya ikhlas.”

“Anggap saja penglaris karena jualan saya belum laku dari pagi.”

“Wah terimakasih banyak Pak”.

Orang itu langsung saja memakan cilok Pak Jono dengan lahap. Pak Jono sudah menduga bahwa orang itu benar-benar lapar.

“Terimakasih banyak Pak”.

“Sama-sama mas”.

“Ngomong-ngomong nama Bapak siapa? Saya Firman Pak.”

“Saya Jono mas”.

“Maaf Pak saya tidak bisa membeli cilok bapak, dan saya benar-benar terimakasih karena saya sekarang menjadi bersemangat”.

“Wah Alhamdulillah mas”. Ucap Pak Jono lega.

Setelah berkenalan, orang yang bernama Firman itu pergi. Orangnya terlihat masih muda, tapi terlihat dewasa dan gagah itu yang ada dalam pikiran Pak Jono. Tapi siapa sangka, sebenarnya dalam perjalanan Firman hendak melakukan sesuatu yang besar. Yang sama sekali tidak terpikirkan oleh Pak Jono yang melihatnya dan berkenalan dengannya di pos.

 

“Permisi mbak!”

“Iya, ada yang bisa saya bantu mas?”

“Mau cari hp smartphone mbak.”

“Mau yang merk apa mas?”

“Apa saja mbak, yang bagus.”

Sementara mbak-mbak pegawai konter hp itu menjelaskan tipe-tipe smartphone yang trend saat ini, Firman mengamati keadaan sekitar. Toko konter itu tampak lengang, hanya 3 pegawai yang ada di konter. Pengunjungnya hanya ada dirinya, sedangkan dua pegawai lainnya sibuk memencet layar sambil tertawa lepas tanpa beban. Satu persatu smartphone dikeluarkan oleh pegawai itu sambil menjelaskan keunggulannya. Tanpa disadari oleh pegawai, tangan Firman dengan cepat mengambil salah satu hp dan memasukkannya ke dalam saku. Dengan alasan belum ada yang tertarik, Firman dengan mulus keluar dari toko.

“Huh tanya-tanya aja nggak beli”. Keluh si pegawai

Sambil merapikan kembali smartphone di etalase, pegawai itu merasa aneh  Ya baru saja ia sadar ada smartphone yang dicuri. Sontak ia menjerit sejadi-jadinya.

“Maling!”

“Maling!”

Dua pegawai yang tadi asyik tertawa langsung kaget, dan mengejar Firman yang belum jauh dari toko. Beberapa warga yang ada di pinggir jalan juga turut mengejar. Firman berlari dengan nafas tersengal-sengal. Senja terus beranjak, pikirannya sekarang kalut. Merasa bersalah dan merasa harus membawa curiannya dengan berhasil.

“Cepat malingnya lari kesana” seru salah satu warga.

“Mentang-mentang sepi, beraninya maling.” Keluh salah satu warga.

 

Firman benar-benar merasa lelah, tapi ia tetap terus berusaha berlari. Di tengah gaduhnya warga mengejar maling, Pak Jono masih duduk di pos kosong sambil menunggu pembeli. Pak Jono pada mulanya bingung, melihat Firman yang baru dikenalnya tadi dikejar-kejar oleh warga. Pak Jono baru tahu setelah warga berteriak “maling”. Ia tidak menyangka bahwa tadi dirinya membantu maling itu. Pak Jono ingat kalau Firman mengatakan bahawa ia merasa semangat setelah makan ciloknya.

“Woi jangan lari kau!”

“Dasar maling nggak tau malu”. Umpat salah satu warga.

Firman benar-benar merasa lelah, kakinya mulai terasa berat untuk berlari.

“Nah akhirnya tertangkap kau bangsat!”

“Ampun pak, ampun.” Kata Firman memelas

“Sudah hajar saja!”

“Hajar!”

Dalam hitungan detik kemarahan warga berubah menjadi kekerasan, Firman dihakimi massa. Tubuhnya meringkuk kesakitan, bukan hanya tubuhnya yang kini ia rasakan sakit namun hatinya. Namun hatinya begitu sakit, karena tidak bisa membawa pulang hp baru untuk anaknya sekolah. Pikirannya cemas, memikirkan anaknya yang sedang berharap di rumah menunggu kedatangannya membawa hp baru yang telah ia janjikan. Ya tadi pagi, Firman pamit pergi membeli hp baru untuk anaknya, menjanjikan bahwa ia akan segera pulang dan membawa hp baru. Anaknya yang mendengarnya sontak bahagia, meski sebenarnya Firman berbohong. Bukan membelinya, melainkan mencuri. Ia tak bisa membayangkan pulang dengan muka babak belur, dan membayangkan muka kecewa anaknya. Kini tidak ada lagi harapan yang tersisa, tubuhnya hanya meringkuk kesakitan di tendang sana-sini oleh warga yang marah. Dan akhirnya ada warga yang datang untuk menengahi.

“Sudah-sudah lebih baik kita cari jalan damai.”

 

“Wah tidak bisa dia haru masuk penjara biar kapok!”

“Tidak kita harus bicarakan baik-baik, kasihan pasti keluarga di rumah menunggunya.”

Setelah perdebatan yang panjang oleh warga, akhirnya Firman dimaafkan. Hp smartphone itu dikembalikan, dan ia berjanji tidak akan mengulanginya.

Sementara warga tadi berunding, ternyata cilok Pak Jono akhirnya laku. Beberapa warga yang lelah, duduk berhenti di pos. Dan mungkin merasa iba, warga akhirnya membeli cilok Pak Jono

Firman berjalan terseok-seok ia merasa lemas dan tak bertenaga. Air matanya mulai mengalir. Sambil menahan sakit, ia kembali duduk di pos kosong tempat Pak Jono tadi. Pak Jono lalu menghampirinya.

“Saya tidak tahu alasan kenapa kamu mencuri, mungkin keadaan sulit seperti ini memaksamu mas.”

“Maafkan saya Pak.”

“Eh kenapa minta maaf ke saya?”

“Sudah mas, lebih baik kamu renungi kesalahanmu.”

“Sesusah-susahnya kita, jangan sampai mencuri mas.”

“Kasihan anak istri di rumah.” Kata Pak Jono memghibur

“Iya Bapak benar.”

“Ini.” Sambil menyodorkan sebungkus cilok.

“Mungkin masnya lapar lagi setelah berlarian tadi, hehe” sambil tersenyum.

Langit sudah mulai jelas menampakkan senja, langit oranye dan debu tiupan angin menemani Pak Jono dan Firman menyantap cilok. Dengan pikiran kalut dan hanya sisa harapan yang tersisa, di tengah senja yang kelu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEKAR Edisi Bulan Mei-Juni 2023 | Jalan yang Terang untuk yang Bertahan oleh Bella Najwa Muzdha

PROFIL

LITERAFILM: HOME SWEET LOAN (2024)