Korona | Erika Ananda Lestari
Korona
Erika Ananda Lestari
"SIALAN!"
Korona? Haha, aku tidak yakin itu ada. Bukannya apa, rekayasa ini terlihat sangat jelas. Memang benar rekayasa, rekayasa dari Tuhan pencipta alam semesta tepatnya. Bagaimana aku bisa percaya? Jika semua nya seolah mengada-ngada. Segala kegiatan mendadak dilakukan dari rumah. Namun, disatu sisi tempat liburan perlahan membuka. Para turis lokal pun dengan senang hati berlibur, bukannya sekolah libur? Itu yang dikatakan orang-orang, jika ada yang menyuruh mereka dirumah aja.
Awalnya, aku mengira dirumah saja adalah sebuah jalan ninja. Terobosan menyenangkan dalam hidup. Setelah beberapa waktu lalu, selalu dikenai demam rumah, rindu rumah dan apalah itu. Rasanya, baru saja kemarin aku menangis di dalam kamar pondok pesantren. Dan sekarang, aku sudah bisa 24/7 berada dikamarku, melihat keluargaku. Aku bisa menyendiri di kamar dengan damai, tanpa perlu mendengar para rekan rekan menggibah di pelataran kamar, tanpa perlu lagi cari makan mengantri di kantin pondok. Yah, sangat menyenangkan memang dirumah. Sungguh, sebenarnya pandemi ini menyenangkan. Itulah pendapatku dulu.
Waktu kian berlalu, bahkan usiaku juga bertambah. Tanpa terasa, aku mengawali dua puluh tahun ku ini dengan tetap dirumah saja. Masa dewasa awal ku, kukira akan mudah dengan dirumah. Namun, ternyata itu tidak mudah.
"Buk, samian tau? Aku itu punya sifat bisa aja ngebuat aku bunuh diri lo." Ujar ku.
Aku meletakkan bulpoin biruku, menjeda mengerjakan laporanku dan duduk disamping ibu.
Ibu hanya menatap kearahku. Mungkin dia mengira, aku hanya bercanda.
"Makanya, jadi anak jangan gampang stress. Dipikir dengan kepala dingin apa-apa tuh." Petuah ibu.
Aku hanya tersenyum, tanpa aku sadari awal 20 tahun ini sangat berat. Aku kembali ke kamarku. Waktu sangat celat berlalu seolah mata memejamkan mata. Tiba-tiba saja sudah esok hari. Tiba-tiba saja tugas ku selesai, dan tumbuh tugas baru. Hal itu terus menerus berulang.
Tertekan, sangat. Aku sadar, bahwa aku tertekan. Aku menatap jendela, melihat orang lewat dengan penuh tanya.
"Mereka melihatku seperti apa?"
Hanya itu yang terlintas.
"YA ALLAH, NDUK! Kok makin jerawatan to." ujar seseorang yang teringat jelas di ingatan.
Aku mendekat ke arah kaca, memandangi wajah yang sempat terlupakan bagaimana bentuknya. Semakin hari, aku kian merasa sakit. Untuk bicara aja sakit. Rasanya seperti tiba-tiba saja wajahku penuh dengan rahmat Tuhan yang kecil imut, yang ingin sekali aku musnahkan.
"Ihh, kakak berdarah." Ujar Adikku.
Dia mengambilkan tisu untukku,
Rupanya, jerawatku meletus haha.
"Akh, sakit." rintihku.
Semakin hari, semakin seperti neraka. Kuhabiskan waktu dirumah, semakin membuat muak. Wajahku penuh kasih sayang Tuhan, tubuhku lelah mengerjakan tugas.
Aku muak.
Menjadi dewasa sangat sulit, seolah olah aku mengerti semua isi hati orang. Dari matanya, bahkan aku seperti mengerti apa isi pikiran mereka. Semakin sensitif, aku bahkan berpikir dunia tidak adil. Aku sudah cukup patuh, kenapa aku masih mendapat ketidak adilan. Aku menangis setiap malam. Orang-orang melihatku dengan tatapan prihatin. Menyarankan ini itu, dan berakhir catu. Sangat sakit, jerawatku makin parah. Aku merasa dunia sudah berakhir. Semua kukait-kaitkan. Apapun itu.
"Pake ini."
"Aku mah ga pernah skincare an, makanya jangan pake macem macem."
"aku pake ini cocok."
“ Skincare ku air wudhu doing kok.”
“HALAH JA**OK”
Sudah kuturuti semua perkataan orang. Tapi apa? Seolah dunia tidak puas.
Dan lagi lagi, aku bersyukur saat ini pandemi. Aku bisa terus mengurung diri dikamarku.
"Nduk, ibuk mau ke rumah tante."
"Gaikut buk." tolak ku.
Penolakan terus didapatkan keluargaku, disaat mereka membujukku keluar rumah.
"Aku tidak kuat menghadapi tatapan orang orang bu." Lirih ku. Aku ingin meneriaki ibukku.
"APAKAH KAU TIDAK LIAT? WAJAH ANAKMU INI BURUK RUPA BUK! APA KAU TAK MALU?"
Inginku berteriak seperti itu. Aku menangis, dalam diam. Dan akhirnya aku sendiri lagi.
Waktu berlalu begitu cepat lagi, liburan hanya kuhabiskan dirumah seperti biasa. Satu semester full aku tidak meninggalkan rumah. Meratabi nasib, sangat konyol dipikir. Hanya gegara jerawat, aku membesar besarkan jadi seperti itu. Haha.
But, you wrong!
Bagi kalian ini sepele, ini lucu. Tapi bagi kami? Sungguh, aku baru sadar mental orang dewasa sangat rapuh. Aku sudah melewati masa berjerawat selama masa puberku, dan aku bahagia saja. Tapi ini apa? Melewati masa jerawat di masa dewasaku kenapa sulit? Bukannya sama saja? Terlihat sama, karena masalahnya hanya jerawat. Yang berbeda, dulu aku menutup telinga dan mata, dan sekarang tanpa aku inginkan telinga dan mataku terbuka lebar.
"Umik," Aku mendekati nenekku yang tertidur di kamarnya. Seperti biasa, aku hanya keluar rumah untuk pergi kerumah nenek membereskan rumahnya.
"Mim, umik liat wajahku? Jerawatnya banyak pol, sakit. Aku di kata katain orang terus."
"Umie gak liat nduk, gak keliatan." Jawab nenek.
Aku mendekat, dan ternyata umikku masih tidak bisa melihatnya. Ngeblur, wajahku terlihat seperti sudah diberi filter penghalus dimata umikku.
"Potong kan kuku ku aja." Ujar umikku. Aku mendekat, memotong kuku umikku menjadi keseharian dikala aku kesana. Setidakknya, aku mau keluar rumah.
Aku tidak menyangka, hari itu hari terakhir aku menggunting kuku nenekku. 10 taun wanita itu berjuang melawan penyakit diabetnya. Bahkan kurasa dia sudah sehat, dia bahkan selalu tersenyum. Aku pingsan. Iya, aku pingsan, aku menangis karena tidak bisa ada disampingnya kala itu.
Wanita panutanku sudah pergi. Wanita terkuat, yang sangat kuat. Yang bisa mandiri, menghidupi dirinya sendiri. Wanita yang sangat kuat, bahkan saat lelakinya sudah menghianati. Wanita yang kuat, bahkan saat anak tersayang nya mencurangi.
"SIALAN!"
Lagi-lagi, aku menyalahkan dunia ini. Ini tidak adil, dia bilang akan memilihkan calon suami yang tampan untukku. Tapi ini apa? Dia meninggalkanku.
Lagi lagi aku bersyukur akan Korona, setidaknya aku bisa menemani sisa waktu nenek sebelum dia pergi. Melihatnya mandi, mengganti popoknya. Bahkan berburu popok diskon di penjuru minimarket. Setidaknya aku tidak sedang berada jauh di kampus. Aku bersyukur bisa dirumah aja.
Awalnya, aku tidak percaya mental illnes. Dan sekarang aku percaya. Aku percaya ketika aku mengalami itu.
"Gausah peduliin omongan orang, kata ayah kamu cantik." Ujar ayahku.
Dia tau, aku tengah deoresi berat. Jerawat yang tak kunjung sembuh, nenek yang meninggalkanku. Aku kian bangkit, aku tidak malu untuk keluar dengan teman. Aku juga tidak malu harus menyapu halamn depan. Karena, penantian ku berhasil. Wajahku kian membaik, walau memang masih terlihat buruk. Tapi, hanya aku yang tau kondisiku sendiri. Ibu ayah bahkan adikku tersenyum senang melihat keberhasilanku.
Namun.....
"Hih, wajahmu sama ibukmu aja bersihan wajah ibukmu!"
Satu ucapan, hanya satu ucapan dari mulut seseorang. Bisa menghancurkan diriku lagi.
Aku menangis, menangis lagi. Kapan penderitaan ku berlalu.
Tak hanya itu, aku kembali menahan pilu. Omongan orang terus menerus menyesakkan.
Aku tau aku gemuk....
Aku tau aku hitam...
Aku tau aku jerawatan....
Aku tau aku jelek....
Aku sudah tau, tak perlu kalian memberitahu.
Aku tidak normal, iya aku tau.
"SIALAN!"
Kata itu terucap lagi. Sudah setaun berlalu. Dan aku tetap dirumah saja. Aku memunggu begitu lama di puskesmas. Dan apa? Tidak ada apa apa! Aku malah disuruh membeli obat lagi dan lagi.
"Kalau gak haid haid, nanti mandul."
"Harus priksa, kamu ga takut diperutmu ada apa apa?"
Lagi lagi, omongan orang menghantui tidurku. Mimpi buruk sudah jadi rutinitas harian ku.
Stress nggak? Iyalah, masa enggak!
Disaat orang lainberlomba ingin glow up. Jujur, aku juga ingin. Tapi untuk kali ini, aku hanya ingin mengalamisiklus haid teratur dihidupku. Aku lelah, meminum obat, aku lelah meminum berbagai macam jamu.
Lagi-lagi, dewasa ini sangat menggangu. Hormonal ku semakin kacau. Kukira, oenderitaan akan berakhir sebentar lagi. Ternyata bertambah. Aku menjadi semakin khawatir sendiri. Haha, overthinking lagi, dan lagi.
"Hahaha, katanya diet. Mana! Tetep gemuk tu."
"Lumayan apanya, tetep aja jerawatan tuh."
Ucapan membekas, sungguh. Bukan aku tidak bersyukur, aku bersyukur. Namun aku tidak mengerti mengapa hatiku sesakit ini.
"SIALAN!"
Pandemi ini menyiksa. Lelah hati, pikiran, raga rasanya. Padahal hanya dirumahaja. Aku tidak mengerti, nasibku bagaimana jika pandemi ini tidak ada.
Lagi-lagi, semua gara gara korona. Membayangkan aku menikah dengan siapa, disaat umurku sudah cukup nanti bahkan ga ada pikiran sama sekali. Ya gimana, aku hanya sibuk overthinking dirumah. Teman-teman kian berangsur sudah menikah. Hal itu bahkan tidak terpikir olehku, yang bahkan masih menunggu dilancarkan siklus haidnya.
Kadang berpikir, bagaimana aku bertemu jodohku? Apa ada orang yang tak melihat betapa buruknya fisikku? Jika umik masih ada, mungkin dia akan semangat mencarikan ku calon. Melihat pada circel nenekku yang luas, mungkin saja aku bisa mendapat pria tampan yang menerima buruk rupa seperti ku.
Aku jadi rindu umikku, dia wanita yang sangat tegas. Wanita yang aku idolakan selain ibuku. Ibuku juga patut diidolakan juga si. Biasanya, ada umik yang akan menengahi masalahku. Membelaku dan mencari jalan keluar. Aku sudah terlalu dihina belakangan ini. Pepatah tentang mulutmu harimau mu itu benar. Satu ucapan orang sangat memengaruhi. Well, jika aku dalam keadaan baik, aku pasti tidak akan apa-apa mendapat perkataan buruk dari orang. Tinggal gausah dipercaya, beres. Tapi, disini, kali ini aku sedang tidak baik-baik saja. Mentalku terguncang, hati ku melemah, dan beban menjadi dewasa menjadi berat.
Mental seseorang tidak sebercanda itu. Fiersa Besari pernah berkata, pada lirik lagunya yang berjudul Pelukku untuk Pelikmu.
Kadang kala tak mengapa……
Untuk tak baik-baik saja…….
Kita hanyalah manusia……
Wajar bila tak sempurna……
Saat kau erasa gundah………
Lihat hatimu percayalah……
Segala sesuatu yang pelik……
Bisa diringankan dengan peluk…..
Aku tidak buruk rupa. Jerawat bukan akhir segalanya. Hormonal akan sembuh dengan usaha. Aku sadar, tapi rasa depresi ku tetap menang. Dan akhirnya pun, aku hanya akan menangisi takdir.
Dititik paling depresi terus berlanjut. Wah, ingin sekali kubungkam candaan gila orang-orang. Gausah basa basi, jika akhirnya basi sekali.
Sayatan sayatan terus membekas dihati. Manusia memang yang paling menakutkan didunia. Hanya perkataan guyonan mereka saja sudah berpengaruh mengacak ngacak diri ini. Tak terasa, sayatan itu semakin sakit. Tanpa sadar, sayatan itu ternyata membasahi seluruh seluruh tangan. Penglihatanku merah, aku tidak sadar.
Yang sakit hatiku, kenapa ini terasa sangat nyata?
Kenapa bisa ini terasa cair.
Kenapa penggaris besi bisa menancap di tanganku? Sakit, sangat sakit sekali ternyata.
"SIALAN."
*******
"Apa ini?"
Gadis itu menutup buku diari dinakas. Dia bertanya-tanya, siapa tokoh aku dicerita itu.
"bunda bunda, ini buku siapa? Korona itu apa?" Tanya gadis kecil itu menginjak remaja itu.
"Dari mana kau dapat ini?" jawab wanita diusia akhir 30an.
"Di balik lemari." Ujar gadis itu.
Sang ibu melihat, membuka halaman demi halaman buku yang tak asing.
"Kamu jemput Aji aja sana, adikmu kalau udah main di rumah om Lukas suka lupa waktu."
"Aku kan tanya ini bunda, jawab dulu." ujar remaja itu.
“iya, nanti. Udah sana, keburu sore,”
“Hmm, iya deh bun.”
Wanita yang dipanggil bunda itu tersenyum. Tersenyum sendu. Ia menatap buku kusam itu.
"Terimakasih korona, sudah ada menghiasi hidupku. Aku bisa mempunyai pengalaman menarikpada masamu." Wanita itu tersenyum.
Ia mengelus, pergelangan tangannya.
"Sakit ternyata." Wanita itu tertawa.
Dia teringat masa lalu. Katanya,
"Tuliskan penderitaanmu, dan bacalah lagi nanti jika kamu sudah berhasil bahagia."
"Yang, Aji mana?" Tanya pria dengan wajah bantal baru bangun tidur. Lamunanku buyar, mendengar sapaan suara itu.
"Di rumah bang Lukas, kok bangun?"
"Eh buku mu dulu?" pria itu menunjuk buku kusam kuno itu.
Wanita itu mengangguk, seraya tersenyum.
"Aku merindukan korona." Ujar Wanita itu.
"Kau merindukan korona, atau laki laki tampan yang kau temui diakhir korona?" Tanyanya.
"Aku sudah bosan melihat laki-laki itu." Jawab nya.
"Tapi aku tau, kau sangat mencintai nya bukan?"
"Pede amat si Pak."
"Iya lah. Jika aku gak percaya diri. Mungkin aku nggak akan bisa punya dua anak dengan mu seperti sekarang." Pria itu merangkul bahu istrinya, seraya merampas buku dari genggaman sang istri.
Wanita itu menatap suaminya. Benar, pria itu suaminya. Laki-laki yang ia temui di akhir korona.
Pria itu mangambil alih buku usang itu.
"Jangan Jen!"
"Liat!"
Pria itu menatap istrinya.
"Darah apa ini maksudanya?" Tanya nya, saat membaca akhir cerita
"Gapapa kalik Jen, itu dulu biatnya biar mendramatisir gitu ilah." Jawab Sang Istri.
"Oh, sudrun! Dasar! Kebanyakan nonton drama gini nih."
"Apaan sih Jeno! Lagian ya, kalau aku ga liat drama, ga liat oppa oppa! Ga kira aku nikah ama kamu sekarang. Palingan udah tertekan bunuh diri dulu aku. Untung aja ada oppa oppa." Balas wanita itu sombong.
"HEH?"
Tamat
Apapun masalahmu, kamu tidak sendiri. Masih banyak orang yang menyayangimu, dan melihatmu dengan cara berbeda. Apapun masalah mu, itu akan segera berlalu, jangan pernah berpikir untuk putus asa mengakhiri hidup.
Semoga pandemi segera berlalu ^o^
Komentar
Posting Komentar