Covid dan Curhatan Semasa Pandemi | Adinda Salsabila Risanti


 Covid dan Curhatan Semasa Pandemi

Adinda Salsabila Risanti

 

Pandemi, covid-19, protokol kesehatan, lockdown, dan berbagai istilah lainnya yang sering bertebaran di televisi maupun di semua jejaring media sosial yang kumiliki. Satu tahun ini rasanya bagaikan surga dan neraka semenjak virus corona masuk ke Indonesia bulan Maret tahun lalu. Bagaimana tidak? Secara langsung, aku, sebagai salah satu mahasiswa di Universitas Jember juga harus merasakan dampak dari virus itu.

Mulai dari kuliah daring, cabut kos, hingga menjadi mahasiswa pengangguran di rumah. Siapa yang tidak merindukan kegiatan di kampus berjalan normal seperti biasa? Surat Kebijakan Rektor yang awalnya hanya memberlakukan kuliah daring selama dua minggu, lama-kelamaan diperpanjang menjadi sebulan hingga berbulan-bulan. Dan sampai sekarang, kami, mahasiswa, masih menunggu kapan keadaan kembali seperti semula.

Secara pribadi, aku sendiri cukup kesulitan dengan efek pandemi, terutama pembelajaran daring. Selain harus berdaptasi lagi, tekanan yang ada di rumah membuatku frustasi. Ekonomi turun, beban mental, dan terkunci di dalam rumah seperti terpenjara. Belum lagi protokol kesehatan yang ketat setiap kali keluar rumah. Namun, memang tiada pilihan lain. Aku pun tidak ingin terjangkit covid. Tidak banyak yang harus dilakukan selain mematuhi protokol kesehatan Pemerintah. (Walau di sisi lain bisa lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dan quality time bersama keluarga).

Jumlah kasus yang meningkat seiring berjalannya waktu, entah itu di televisi maupun media sosial, sempat membuatku stress. Ditambah orang-orang di rumah sama-sama melimpahkan rasa tertekan mereka satu sama lain. Rasanya ingin lari saja ke planet lain dan memulai hidup baru meskipun aku tahu itu merupakan hal yang mustahil. Dan yang paling parah, perasaan tak berguna karena tidak bisa melakukan apapun selama menjadi mahasiswa. Setiap hari hanya rebahan, kuliah, mengerjakan tugas, membersihkan rumah, dan tidak ada yang spesial dari rutinitas selama pandemi (saat itu jiwa ambisiusku masih mendominasi sih).

Hingga dua-tiga bulan kemudian, ada informasi mengenai open recruitment pengurus Panwaslu dan anggota Sahabat Perpustakaan 2020. Aku pun mencoba peruntunganku di sana. Dan ternyata setelah melalui proses yang cukup panjang, kedua lembaga itu sama-sama menerimaku.

Aku merasa senang, awalnya. Setidaknya aku memiliki kesibukan untuk pengalihan rasa tertekanku. Namun bagaimanapun juga, berorganisasi secara langsung dan daring sensasinya sangat berbeda. Selama daring, yang kulakukan hanyalah duduk di depan laptop, microsoft word yang sudah menjadi teman setiaku sejak lama semakin setia saja menemaniku siang dan malam. Zoom, google meet. Rapat, rapat, dan rapat online terus. Hingga pada suatu titik, karena saking seringnya rapat, tugas sekretaris umum Panwaslu, dan kebodohanku yang tidak pandai mengatur waktu maupun menjaga kesehatan, aku pun jatuh sakit.

Setelah sekian lama, aku kembali terserang tipus. Bila dulu hanya gejalanya, waktu itu aku sudah benar-benar tidak sanggup bahkan untuk melihat ponsel. Kepala pusing seharian, lidah hambar, dan perut terasa tidak nyaman. Semua jadwalku pun berantakan, termasuk jadwal kuliah. Tugas-tugasku banyak yang tidak tersentuh, dan mungkin stress adalah salah satu penyebab diriku sakit.

Mungkin itulah cerita mengenai pengalamanku selama pandemi. Aku yakin banyak orang—mahasiswa—yang mengalami pengalaman yang sama denganku. Harapan kami pun sama; semoga keadaan lekas pulih dan kami dapat beraktivitas seperti sedia kala

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEKAR Edisi Bulan Mei-Juni 2023 | Jalan yang Terang untuk yang Bertahan oleh Bella Najwa Muzdha

PROFIL

LITERAFILM: HOME SWEET LOAN (2024)