Langit dan Rania | Silfi Eka Cindi Pratiwi

 Langit dan Rania

Silfi Eka Cindi Pratiwi

        Suasana malam ini begitu sunyi, tanpa taburan bintang yang menghiasi. Duduk di balkon seorang diri, dengan segelas kopi sebagai teman dalam menggalih inspiransi adalah hobiku sepanjang hari.

“Nona Rania, Tuan dan Nyonya menunggu Nona di ruang keluarga!” ucap Bi Laksmi.

“Baik, Bi. Rania akan segera turun,” balasku. 

“Baik, Nona. Saya permisi,” balas Bi Laksmi. Tak lama kemudian aku pun beranjak dari tempatku untuk menemui mereka.

“Iya, Pa, Ma? Kalian memanggilku? tanyaku.

“Iya, Sayang. Duduk dulu!” perintah Mama.

“Ada apa, Ma? Sepertinya ada hal serius yang ingin kalian bicarakan,” ucapku.

“Iya, Rania. Papa berencana untuk menjodohkanmu dengan Langit, anak dari rekan kerja Papa,” ucap Papa memulai percakapan.

“Aku? tapi kan aku belum ada rencana menikah, Pa,” balasku.

“Kamu harus menikah sama dia, Rania. Ini untuk masa depan kamu!” tegas Papa.

“Rania masih kuliah, Pa. Rania juga tidak mengenal siapa Langit? Jangan memaksa Rania hanya untuk kepentingan Papa.

“Kepentingan Papa juga yang terbaik untuk kamu, Sayang!” Mama menambahkan.

“Rania belum siap. Kurasa Langit juga keberatan jika harus dijodohkan dengan Rania,” balas Rania.

“Lihat saja, nanti. Besok malam Langit dan keluarganya akan datang untuk makan malam bersama kita. Sekalian membahas perjodohan kalian. Papa harap kamu bersikap sopan dan tidak mempermalukan Papa di depan mereka!” tegas Papa.

Aku yang enggan berdebat segera beranjak pergi tanpa memperdulikan ucapan Papa. “Mulai besok pagi gerbang Papa kunci, jangan harap kamu bisa lari!” ucap Papa melanjutkan. Namun, aku tak menanggapinya lagi.

Papa bukan lagi menggebrakku semalam, kali ini papa serius dengan ucapannya. Gerbang utama sengaja Papa kunci, Bi Laksmi juga sepertinya tidak bisa membantu apa-apa kali ini. Aku benar-benar akan ditumbalkan demi kelancaran bisnis Papa.

Seharian dikurung di dalam rumah membuatku muak. Hanya stalk sosial media nggak berguna, inginku kabur dari rumah dan menolak perjodohan ini. Namun, tak ada yang bisa kulakukan.

Malam ini Papa, Mama, dan aku selaras mengunakan dresscode  berwarna putih tengah duduk di meja makan bersama keluarga Pak Haditama rekan kerja Papa dengan dresscode senada.

“Nggak nyangka ya, Tam. Anak kita sudah sama-sama dewasa,” ucap Papa memulai percakapan.

“Benar sekali, Rud. Sebentar lagi kita akan menjadi besan, dan nggak lama lagi kita akan segera punya cucu,” balas Pak Haditama.

“Bagaimana, Langit? Kamu mau kan menikah dengan Rania anak Om Rudy? Tanya Papa.

“Jika Papa dan Mama setuju, aku tidak bisa menolak, Om. Soal cinta saya yakin perlahan akan tumbuh dengan sendirinya,” balas Langit.

“Jawaban yang bagus, Nak. Cerminan berpendidikan tinggi, berwibawa, rupawan pula,” pujian Papa yang sontak membuat si empunya tersipu.

“Rania, bagaimana?” tanya Om Tama.

        Aku masih tertunduk tak menjawab apapun. Munafik jika aku bilang aku tidak suka dengan Langit. Kakak kelasku semasa SMA yang terkenal dengan segudang prestasi itu. Hanya saja aku belum siap melangkah terlalu jauh.

        “Rania memang suka malu-malu, Tam. Jangan ditanya lagi! Anakku selalu menurut denganku sedari kecil, terlebih Rania dan Tama sudah saling mengenal, kan?” jawab Papa.

        “Benar, Om. Rania adek kelas Tama. Kami pernah satu organisasi di SMA dulu. Sekalipun tidak akrab kita pernah berbincang,” balas Langit.

        “Bagus. Bagaimana? Kapan tanggal baiknya untuk pernikahan mereka, Rud?” Tanya Pak Haditama.

        “Semakin cepat, lebih baik,” balas Papa.

        “Bulan depan, bagaimana? saran Pak Haditama.

        “Tidak masalah,” balas Papa. 

        Sebuah kesepakatan yang sebenarnya aku belum sepenuhnya sepakat. Terlebih dalam waktu dekat aku akan berganti stautus menjadi istri dari Langit. Bagaimana dengan Pricilla? Aku yang paling tau usaha Pricilla untuk bisa dapatkan Langit dari zaman kita SMA sampai sekarang.

        Seminggu sebelum acara pernikahanku dan Langit, kita sepakat untuk jalan bareng ke salah satu mall di daerah kami. Jujur canggung saat pertama jalan dengan Langit. Sekalipun kami sudah saling kenal tetap saja kita tidak pernah sedekat ini sebelumnya.

        “Kamu terpakasa menikah denganku?” tanya Langit.

        “Kamu sendiri, bagaimana?” tanyaku balik.

        “Aku nggak keberatan. Usiaku memang sudah pantas menikah, kan? Mau apa lagi? Keluarga sudah sama-sama setuju, aku sudah kenal siapa kamu. nggak ada alasan buat aku nolak,” balas Langit.

        “Bagaimana dengan Pricilla?” tanyaku.

        “Kamu ragu denganku karena cewek itu?” balas Langit.

        “Bukan hanya itu. Sebenarnya aku juga masih belum siap untuk menikah muda,” balasku.

        “Kamu tau kan, dari SMA aku nggak pernah respon cewek itu. Kamu nggak usah khawatir, ya.” balas Langit meyakinkan.

        Hari pernikahan kita tiba. Sekalipun banyak pertimbangan tetap saja aku tidak bisa menolak perjodohan ini. Mungkin memang Langit jodohku, semua persiapan pernikahan kita diberikan kemudahan. Kedua keluarga kami terlihat begitu kompak dan bahagia hari ini. Bagiku kebahagiaan kedua orang tuaku lebih penting dibandingkan dengan bahagiaku sendiri.

        Beberapa menit sebelum acara ijab qabul dimulai, datang seorang wanita dengan menggandeng seorang anak perempuan itu menangis dan mengobrak-abrik hidangan di atas meja. “KAK LAGIT, TEGA!” teriak wanita itu sembari mengobrak-abrik segala yang ada di hadapannya.

        “Apa-apaan ini semua? Siapa kamu?” bentak Papa.

        “Kak Langit, tega!” teriak wanita itu.

        “Langit, kamu kenal wanita itu? tanya Pak Haditama. Aku yang melihat waanita itu sontak kaget, “Pricilla?!” ucapku tak percaya.

        “Iya, ini aku, Rania. Istri siri langit yang dilenyapkan keberadaanya!” tegas Pricilla.

        “Istri?” tanyaku kaget.

        “Kamu jangan pura-pura lupa, Rania. Kamu tau kan lima tahun yang lalu semasa SMA. Aku dikeluarkan dari sekolah karena apa? kupikir dulu kita sahabat ya, Ran. Nggak nyangka kamu tega sama aku!” tegas Pricilla.

        “Maksud kamu, ayah dari bayi yang kamu kandung dulu itu, Langit? Tanyaku.

        “Kamu pikir siapa lagi? Hanya Langit yang aku cinta, Ran. Cowok berengsek ini yang aku percaya tapi menghancurkan masa depanku dan segalanya. Aku diusir dari rumah, Ran. Aku menuntut tanggung jawab Langit. Kita menikah tapi tidak disebarluaskan di depan publik. Kumohon batalkan pernikahan ini!” balas Pricilla.

        “Haditama, kurasa ini masalah internal keluarga anda. Jangan bawa keluarga kami ke dalam masalah anda. Silahkan pergi, Pak!” tegas Papa.

        “Saya bisa menjelaskan, Rudy. Ini diluar dugaan sebelumnya,” balas Pak Haditama.

        “Hubungan kerjasama kita batal, perjodohan ini batal, silahkan kalian pergi! Jangan ganggu keluarga saya lagi, saya tidak ingin melihat muka kalian. PERGI DARI SINI!” teriak Papa.

        Keluargaku benar-benar malu, hampir saja aku melakukan kesalahan fatal dengan merusak rumah tangga orang. Sejak saat itu keluarga kami putus hubungan kekerabatan, dan kurasa Papa dan Mama tidak akan lagi memaksaku untuk dijodohkan dengan rekan bisnis mereka, sehingga kini aku bisa fokus kuliah dan meraih cita-citaku.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEKAR Edisi Bulan Mei-Juni 2023 | Jalan yang Terang untuk yang Bertahan oleh Bella Najwa Muzdha

PROFIL

LITERAFILM: HOME SWEET LOAN (2024)