SEKAR Edisi April 2024 | Sepotong Kue tuk Renjana Karya Aqilah
Sepotong Kue tuk Renjana
Karya: Aqilah
Malam terang. Langit mendung tersaput awan menandakan akan turunnya hujan. Seorang gadis manis berbaring di atas alas kardus. Renjana namanya, panggil saja Ren. Ia menatap langit yang sudah mulai gerimis. Dingin menusuk hingga ke tulang. Angin malam ini entah mengapa lebih dingin membelai rambut dibandingkan malam-malam sebelumnya. Di rumah kardus di atas sepetak tanah gadis manis itu hidup dengan sangat sederhana.
“Ren.. Apa yang sedang kau pikirkan?”
“Tidak ada.” Ren menjawab pendek tanpa memalingkan wajahnya. Terlihat wanita setengah baya dengan wajah yang menenangkan. Ia duduk membelai rambut gadis yang sedang berbaring di atas kardus itu. Wajah sendu mereka menatap rintik hujan yang mulai deras. Angin malam menusuk hingga ke tulang-tulang membuat bulu kuduk berdiri, kedinginan.
“Ibu.. Kemarin aku melihat kue tart yang tidak begitu besar ukurannya terpajang di depan kaca sebuah toko kue dekat alun-alun kota. Warnanya yang cokelat menggiurkan dengan hiasan bunga yang menutupi bagian atas kue itu. Sepertinya kue itu sangat enak. Ingin sekali rasanya aku mencicipi meskipun secuil. Sungguh aku ingin memilikinya di hari ulang tahunku besok.” . Ia lalu terdiam, menunduk, menggigit bibir, memecah diam, ia mengatakan kalimat itu dengan ragu-ragu. Matanya berkaca-kaca, buliran bening berada di pelupuk mata memaksa keluar membasahi pipinya.
“Sudahlah kau tenang saja. Kau tau kan ibumu ini bisa melakukan apa saja. Lihat saja, besok kau akan melihat kue tart itu tepat di depan matamu” Ibunya mengatakan dengan penuh kelembutan sambil membelai rambut lurus anak semata wayangnya itu, tersenyum. Sontak sebulir air mata bening Ren jatuh membasahi pipinya. Pelukan hangat menyelimuti tubuh kurusnya. Tenang sekali rasanya berada dalam pelukan seorang ibu yang begitu lembut. Aromanya yang khas sangat menenangkan membuat suasana hati tenang perlahan.
“Ibu sudah sangat bahagia memiliki seorang anak gadis yang baik hatinya sepertimu, Ren. Kau harus ingat, belajarlah yang rajin. Ubahlah hidup kita ke arah yang lebih baik. Hanya dirimu harapan ibu. Ingatlah satu lagi bahwa Tuhan akan selalu menyertai hidup kita.” Perlahan tangis Ren pun mereda. Digantikan dengan matanya yang berbinar. Hatinya dipenuhi dengan harapan untuk membawa hidupnya lebih baik ke depan hingga ia tak perlu lagi hidup di rumah kardus yang sudah reot itu. Sungguh di balik senyum ibunya itu, dalam hati sang ibu selalu terbesit rasa bersalah terhadap anak gadisnya yang akan beranjak dewasa. Rasa bersalah selalu menghantui, apalagi ketika melihat anak gadisnya itu murung . Namun, ia selalu berusaha untuk tetap tegar dan memasang raut wajah yang menenangkan. Dengan sisa tenaga di umurnya yang sudah setengah baya itu, ia selalu berusaha untuk mengumpulkan pundi-pundi uang demi sesuap nasi. Terkadang jika ada rezeki ia mengumpulkannya di sebuah celengan ayam yang sudah memudar warnanya.
***
Keesokan harinya, seperti biasa sepulang sekolah Ren langsung mengeluarkan ukulele kesayangannya sambil mendendangkan lagu dari bis ke bis, dari rumah ke rumah, dan ke tempat-tempat lainnya yang akan memberinya uang receh ataupun sepeser uang seribuan jika sedang beruntung. Dengan rambut dikuncir kuda dan topi yang selalu bertengger di kepalanya ia mulai bersenandung dengan merdu. Selalu terbesit di hatinya, mengapa ia terlahir seperti ini? Mengapa ia tidak bisa hidup nyaman seperti remaja lainnya? Apa Tuhan tidak sayang padanya?
Tiba-tiba dari kejauhan teman sepantarannya, yaitu Elok berlari ke arah Ren sambil berteriak. Gadis pendek dengan rambut kribo itu berlari kencang hingga suaranya terdengar sayup-sayup dari kejauhan
“Ren!!! Astaga!!! Ini gawat sekali. Ibumu... Ibumu tertabrak mobil, Ren! Cepatlah kau pergi ke alun-alun, banyak orang yang sudah mengerubungi!” kata Elok dengan napas yang masih terengah-engah berusaha menyampaikan kabar tersebut kepada Ren. Bak ditikam benda tumpul. Dadanya tiba-tiba sesak mendengar apa yang telah Elok katakan. Ia terdiam mematung. Air matanya sudah memenuhi pelupuk. Segera ia berlari menuju alun-alun kota. Tetes demi tetes air matanya mulai mengalir membasahi pipinya. Sesampainya Ren di tempat kejadian, ia langsung berlari menerobos kerumunan orang yang mengerubungi ibunya. Ren jatuh terduduk, tidak percaya dengan apa yang terjadi di depannya. Sang ibu menatap nanar wajah Ren yang lusuh, peluh dan air mata menyatu membasahi wajah manisnya itu.
“Ren... Lihatkan? Ibu bisa membelikanmu kue tart ini. Selamat ulang tahun, Renjana.” Sang ibu berusaha untuk mengatakan kalimat-kalimat terakhirnya untuk Ren sambil menunjukkan kue tart yang baru dibelinya dari uang celengan ayam miliknya. Meskipun napasnya mulai tersendat-sendat, ia tetap tersenyum.
Ren hanya mampu terdiam, menunduk. Disekanya wajah sang ibu yang dipenuhi darah. Tidak. Bukan ini yang dia inginkan. Bukan sepotong kue itu yang ia inginkan sekarang. Dia hanya ingin sang ibu. Jika malaikatnya itu meninggalkan Ren sendiri, lalu siapa yang akan menerangi kehidupannya yang begitu terjal ini? Sungguh, semuanya sudah terlambat. Perlahan-lahan sang ibu mulai menutup mata, menatap Ren untuk terakhir kalinya. Ya, malaikatnya itu akan pergi, selamanya. Meninggalkan Ren sendiri.
“Ibu, tolong jangan tutup matamu! Tataplah mataku! Tolong jangan tinggalkan aku sendiri. Sungguh aku tidak tau harus berbuat apa.” Air matanya semakin deras tak terbendung. Dia hanya bisa menangis menghadapi kejadian yang tak pernah terbayangkan ini. Genggaman tangan ibunya mulai lemas, menandakan sang ibu sudah pergi. Sepotong kue tart lengkap dengan lilinnya tergeletak di sebelah sang ibu. Itu kue yang Ren inginkan untuk ulang tahunnya kali ini.
***
Bulan purnama menggantung di angkasa. Langit mulai berkabut berusaha menutupi cerahnya rembulan. Senyap? Tidak juga. Guntur mulai bersautan menandakan akan turunnya hujan malam ini. Masih teringat kata-kata sang ibu kemarin lusa di suasana yang sama. Muncullah secercah harapan dalam hati Ren untuk mengubah nasibnya yang begitu malang ini. Ditatapnya foto sang ibu, sebentar ia terpekur menatap foto lama itu. Menelan ludah, lantas menarik napas panjang sekali. Perlahan ia tersenyum, mengikhlaskan semua yang terjadi.
“Aku berjanji akan bangkit dan menjadi seorang yang sukses. Aku yakin Tuhan dan Ibuku selalu menyertai.” Ia percaya jika suatu saat nanti ia akan bersimpuh, bercerita di pusara ibunya, bahwa janji yang dibuatnya malam ini di tengah gerimis dengan rembulan yang mulai tertutup kabut telah tercapai.
Komentar
Posting Komentar