SEKAR Edisi Agustus 2024 | Negeri Kecil Yang Berapi Karya Zaskia Dwi Arefa

 

Negeri Kecil Yang Berapi

Karya Zaskia Dwi Arefa

 

Hari itu matahari sudah hampir terbenam saat Laras mendatangi istana, ini bukan yang pertama kali. Kemarin raja baru naik tahta, Laras berharap raja baru itu bisa menolongnya.

Di depan pintu megah istana yang tertutup dan dijaga prajurit Laras bercerita "Yang Mulia, anak saya masih hilang, belum kembali sudah 10 bulan lamanya. Mungkin dia sudah dibunuh, tapi tak apa saya sudah rela hanya saja saya ingin pembunuhnya ditemukan dan dihukum. Yang mulia, saya meminta pertolongan."

Sudah lama rasanya Laras meminta bantuan pada semesta, pada yang maha kuasa, dan pada yang mulia raja. Laras tak ingin putus asa walau belum ada yang mendengarnya. Anak yang dicintainya tak kunjung pulang, pun tak kunjung mendapat keadilan. Para prajurit yang menjaga pintu istana mentertawakan Laras untuk kesekian kalinya, mungkin sudah bosan melihat seorang Ibu yang perlahan rapuh itu masih penuh dengan semangat untuk mencari keadilan. 

Malam mulai datang pintu istana tak kunjung terbuka. Laras akhirnya pulang dengan luka lama yang belum berhasil disembuhkan, pulang tanpa mendapat keadilan. Di jalan pulang Laras mendengar omongan warga lainnya "Tanah ini telah rusak, terkutuk. Lihatlah ibu Laras, bertahun-tahun mencari keadilan tapi tidak didengarkan. Raja lama telah mati, raja baru jadi pengganti, tapi tanah subur ini seperti telah gagal menjadi negeri yang berempati." Suara seorang warga terdengar oleh Laras, senyum simpul muncul di wajahnya, miris, Laras bertanya pada dirinya sendiri: di sini apa hanya rakyat biasa yang punya hati?

"Benar itu, Pak. Di negeri ini, rakyat kecil harus mengemis untuk keadilan."

Malam sepenuhnya menyelimuti negeri kecil itu saat Laras sampai di rumah. Dengan wajah lemas dia duduk di kursi reyot di pojok ruang tamu. Tetes demi tetes air mata membasahi pipi Laras, hari ini dia gagal lagi "Oh Tuhan, aku hanyalah seorang Ibu. Tolonglah aku." Sebuah doa yang sama terlontar berulang kali.

Malam itu, Laras tidak tidur. Ia duduk di kursinya, menatap ke luar jendela kecil yang menghadap ke arah istana, yang meskipun jauh, bisa dilihat bayangannya dari kejauhan. Laras berpikir kira-kira apa yang sedang di lakukan Yang Mulia di istana, mungkinkah besok Yang Mulia bersedia menemuinya? 10 bulan terakhir tidak ada malam yang Laras lewati dengan tenang.

Di hari berikutnya, pagi-pagi sekali rumah Laras didatangi banyak warga. Setelah pintu rumahnya terbuka seorang Ibu-Ibu sebaya memeluk Laras, "Bu Laras, hari ini kami ingin membantu dan menemani Ibu pergi ke Istana. Mungkin saja kalau banyak warga yang datang Yang Mulia mau membuka pintunya." Tuturnya pada Laras. Laras tidak punya hati untuk menolak mereka, mereka pun berbondong-bondong pergi ke Istana.

Di depan gerbang Istana para warga memanggil sang raja, "Yang Mulia, Yang Mulia. Keluarlah untuk bicara pada rakyat yang telah lama engkau hiraukan keberadaannya." 

"Yang Mulia, jangan hanya duduk di singgasana."

"Yang Mulia, tolonglah seorang Ibu yang hampir putus asa." Para prajurit penjaga gerbang istana terlihat lebih kesal dari hari-hari sebelumnya. 

"Yang Mulia,—" Panggilan untuk sang raja tidak ada hentinya. Seiring waktu berjalan, banyak kalimat yang telah terlontar di depan gerbang istana sebelum akhirnya ada kereta kuda datang menyita perhatian semua orang termasuk para prajurit yang berjaga. 

Dua orang pria yang terlihat seperti ayah dan anak turun dari kereta maju mendekati pintu istana, "Saya dan anak saya ingin menemui Yang Mulia, kemarin uang anak saya dicuri oleh temannya, saya mau anak itu dihukum oleh istana!" Ucap sang ayah disana. Para prajurit dengan sigap membuka gerbang yang telah lama tertutup untuk Laras. 

Hati Laras seperti ingin meledak melihatnya, 10 bulan tanpa henti dia selalu datang tapi gerbang itu tidak sedikitpun terbuka untuknya. Sekarang gerbang itu terbuka lebar dengan mudahnya. 

"Siapa mereka?" Laras dengan ragu bertanya pada warga di sampingnya.

"Itu saudara dan keponakan Yang Mulia Raja, pantas saja pintunya langsung terbuka." Jawab seorang warga disampingnya. Hati Laras terasa semakin panas mendengarnya, hal itu sama saja seperti dia bilang "Mereka orang penting Laras, kalau orang kecil seperti kita masalahnya tidak akan didengar"

Tangan Laras yang kurus mulai gemetar, bukan karena ketakutan, tetapi karena kemarahan yang telah lama ia pendam. Hari ini Laras lihaf dengan mudahnya, gerbang itu terbuka lebar hanya karena yang datang adalah saudara dan keponakan raja. 

Laras memandang ke sekelilingnya. Wajah-wajah warga yang penuh dengan harapan kini berubah menjadi cermin dari kemarahan dan kekecewaan yang dirasakannya. Mereka semua menyadari satu hal yang sama—bahwa di negeri ini, hanya mereka yang punya kekuasaan yang akan didengar, sementara mereka, rakyat kecil, hanyalah bayangan yang tak pernah dipedulikan. 

Walau marah hari itu Laras dan para warga pulang tanpa mendapatkan apa-apa. Tapi satu hal yang pasti, ada tekad yang akan diwujudkan Laras di kemudian hari.

Keesokan hari, Laras dan warga tidak lagi datang ke istana. Hal tersebut meninggalkanperasaan heran di hati para prajurit. Laras dan warga baru datang di hari ketiga setelah hari itu. Kali ini ada lebih banyak lagi warga, Laras dan para warga membawa sesuatu di tangan mereka, sebuah obor. Obor yang sama panasnya seperti hati Laras. Obor yang sama membaranya seperti semangat para warga. Para prajurit mulai takut, mereka tidak mengira akan ada hal seperti ini, mereka tidak sempat menyiapkan apapun untuk melawan.

Laras memimpin mendekati gerbang yang masih tertutup. Ia tidak lagi peduli pada prajurit yang menatapnya dengan penuh ancaman, tidak peduli pada apa yang mungkin terjadi padanya. Di dalam hatinya hanya ada satu tujuan—mencari keadilan yang selama ini diabaikan.

Tanpa menunggu waktu lama, warga mulai bergerak. Mereka merobohkan gerbang istana dengan kekuatan massa. Prajurit yang bertugas berusaha menahan mereka, tapi jumlah warga terlalu banyak. Kemarahan yang telah lama terkumpul kini meledak menjadi aksi yang tak terhindarkan.

Laras berjalan di antara warga, matanya tajam menatap ke arah istana. Di tangannya, ia menggenggam obor itu masih menyala. Tanpa ragu, ia mendekati pintu utama istana yang megah, yang selama ini tertutup rapat baginya. Dengan tangan yang penuh dengan dendam dan luka, Laras melemparkan obor itu ke pintu kayu besar, membiarkan api mulai menjilat bangunan yang selama ini menjadi lambang ketidakadilan bagi dirinya dan rakyat.

“Ini untuk anak ku!” seru Laras dengan air mata yang mengalir deras di pipinya, dia bisa melihat penghuni istana lari ketakutan “Ini untuk semua anak yang hilang tanpa keadilan, untuk semua ibu yang menangis dalam kesepian!”

Api mulai menyebar dengan cepat, membakar kayu-kayu yang sudah lama kering. Warga lain mengikuti langkah Laras, melemparkan obor dan benda-benda yang bisa terbakar ke arah istana. Malam itu, api membesar, menjulang tinggi ke langit, seakan-akan seluruh negeri merespon panggilan terakhir dari mereka yang selama ini tak didengar.

Prajurit yang tersisa berlarian, mencoba menyelamatkan diri, sementara istana yang megah itu mulai runtuh sedikit demi sedikit, diiringi teriakan kemarahan dan tangisan yang telah lama tertahan. Figur yang telah lama didambakan akhirnya keluar menemui warga, yang mulia raja yang sudah hilang mulianya. Dia kini hanya bisa berlari mencoba menyelamatkan diri.

Wahai rakyat kecil tak berdaya. Yang Mulia telah mati rasa. Namun kini kita telah menghukumnya.

Di tengah api yang berkobar, Laras merasakan seberkas kedamaian yang selama ini hilang. Iatahu bahwa mungkin tidak ada yang bisa mengembalikan Raka padanya, tetapi setidaknya malam ini, ia berhasil mengirim pesan yang jelas—keadilan tidak akan selamanya dibungkam. Bagaimana membangun negeri ini lagi akan dipikirkan nanti karena negeri kecil ini sudah lama mendambakan revolusi.

 

17 Agustus, 2024

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEKAR Edisi Bulan Mei-Juni 2023 | Jalan yang Terang untuk yang Bertahan oleh Bella Najwa Muzdha

PROFIL

LITERAFILM: HOME SWEET LOAN (2024)