SEKAR Edisi Juni 2024 | Bareta Dan Bolpoin Biru Karya Depram Ardianatasyah
BARETA DAN BOLPOIN BIRU
Karya ; Depram Ardianatasyah
“Na, minggu depan ada reuni SMA. Ikut nggak?”
Kamila meletakkan setumpuk kertas baru yang harus kutandatangani. Itu bukan kertas biasa, melainkan halaman pertaman dari buku baruku yang akan terbit akhir bulan ini.
“Nggak tau, Mil. Kamu?”
Kamila berpikir sejenak. “Kita ada libur beberapa hari sebelum sibuk lagi promosi bukumu ini, tapi nggak tau, deh. Aku penginnya liburan ke mana gitu,” jawab Kamila. Seperti mengerti bolpoin biru yang kugunakan sudah hampir habis, Kamila mengambilkan bolpoin baru dengan merk dan warna yang sama.
“Terima kasih, Mil.”
Kamila mendengus. “Kenapa, sih, harus biru?” tanyanya. “Umumnya tanda tangan di novel begini pakai bolpoin hitam, tapi kamu ngeyel banget mau pakai biru sejak novel pertama.”
Aku terdiam sesaat, pertanyaan Kamila tidaklah sulit, bahkan jawabannya sudah ada di kepalaku. Tapi alih-alih mengusir rasa penasaran Kamila dengan sebuah jawaban yang membuatnya mengerti, aku malah memberi senyum tipis yang dibalas decakan olehnya.
“Aku suka warna biru, Mil, kamu tau itu, kan?”
“Jawaban itu lagi, nggak ada yang lain?”
Gelenganku mungkin tidak cukup membuat Kamila puas, ia menarik kursi dan duduk. Kamila menggeser setumpuk kertas di depanku, membuatku menatapnya dengan sorot bertanya.
“Bukan karena dia, kan?” tanya Kamila, menatap penuh harap seolah ingin aku kembali menggeleng untuk menjawabnya.
“Dia?”
“Kamu tau siapa yang aku maksud Nabila Tirani.”
Bukan hanya tahu. Hanya dengan mendengar Kamila menyebut ‘dia’ saja, yang muncul di kepalaku langsung nama itu.
Sabiru Bareta. Nama yang indah, aku suka. Sebagaimana aku menyukai si pemilik nama. Ah, atau bisa disebut, pernah suka? Entah bagaimana aku bisa menyebutnya sekarang ini. Kami tidak pernah berada dalam sebuah hubungan yang membuatku bisa menyebutnya sebagai mantan, tapi Sabiru dan kenangannya adalah sesuatu yang penting dalam hidupku— dulu.
Aku memanggilnya Sabiru, padahal sejak awal dia memperkenalkan diri sebagai Bareta. Panggilan itu muncul sejak Sabiru yang sama sekali tidak pernah berinteraksi denganku, tiba-tiba saja menyapa pagi itu. Bukan untuk mengobrol santai sebelum MPLS hari pertama dimulai, tapi untuk meminjam sesuatu.
“Ada bolpoin biru? Aku lupa bawa,” katanya, dengan suara serak khas orang yang terpaksa meninggalkan tidur nyenyaknya karena kegiatan sekolah sepagi ini.
“Ada,” jawabku, tapi tidak langsung memberikannya. Padahal saat itu, kotak pensil sedang kubawa di tangan.
Sabiru menunggu, tapi sampai beberapa detik tidak mendapatkan yang ia minta. “Ada nggak?”
“Ah, iya, ada kok.” Aku mengerjap karena dia tiba-tiba melambai.
“Anak SMP Yuha, ya?” tanyanya, melihat badge logo sekolah di seragam SMP-ku.
“Iya.”
“Keren. Kenapa ke SMA ini? Nggak keterima di SMA Yuha?” tanyanya lagi.
“Nggak daftar di sana.”
“Wah, sayang banget. Aku mau ke sana, tapi otakku nggak nyampe.” Sabiru tertawa.
Oh, ya. Saat itu aku belum tahu kalau namanya Sabiru Bareta, bahkan aku tidak tahu dia dari SMP mana. Seragam sekolahnya polos, hanya ada badge merah putih di dada bagian kanan. Tidak ada badge nama, kelas, bahkan sekolah.
Di hari pertama MPLS SMA Garuda, dia sudah melanggar banyak peraturan. Pertama kemeja putih yang tidak dirapikan ke dalam celana, tidak memakai dasi, tidak mengalungkan tanda pengenal sebagai peserta MPLS. Yang paling mencolok, rambut panjang Sabiru hampir menyentuh mata, sudah pasti akan jadi sasaran Pengurus OSIS nanti.
“Ini.”
“Wah, makasih. Nanti kalau ketemu aku balikin, ya? Daahh...”
Dia pergi sambil melambaikan tangan, berlari ke arah segerombol cowok yang sudah menunggu. Mungkin temannya.
Aku masih di dekat gerbang, menunggu Kamila yang tadi bilang akan datang sedikit terlambat. Sampai beberapa saat kemudian aku ingat belum menanyakan nama cowok itu, dia juga tidak tahu namaku. Lalu, bagaimana dia akan mengembalikan bolpin biruku?
Saat itu aku sadar, bolpoin biruku tidak akan kembali.
***
Hari terakhir MPLS, Kamila menyusulku ke kelas karena kebetulan kami berpisah di pembagian kelas tetap. Kelasku, X-IPA 5, lebih dekat dengan IPS daripada kelas IPA yang lain.
“Mau mam mie ayam?” tanya Kamila begitu kami keluar ruangan.
“Mauuuuu!” jawabku cepat dan bersemangat, seolah lupa hari ini dipanggang lebih dari 1 jam di bawah terik matahari karena ada yang melanggar peraturan.
“Ayo! Aku yang bayar!”
“Wah, ada apa, nih? Jadian, ya?” tebakku, sepertinya benar. Kamila langsung tersipu.
“Bukan jadian, sih. Cuma... eum, i have crush on my new classmate.”
Mataku berbinar. “Serius? Seorang Kamila suka sama cowok di kelasnya? Yang mana, sih? Lebih ganteng dari Sehun, nggak?”
“Mana ada!” Tangan Kamila dengan ringan memukul lenganku, tapi tidak sakit. “Gantengan Tuan Muda Sehun, lah!”
Aku tertawa. “Iya, deh, percayaaa. Yang mana, sih, kepo.”
Kamila tiba-tiba berhenti, membuatku mau tidak mau ikut menahan langkah. Mataku menyusuri ke mana Kamila melihat sambil senyum malu-malu begitu, sampai akhirnya berhenti pada satu objek. Dia, cowok itu, yang meminjam bolpoin biruku.
“Dia?” tanyaku pelan. Kamila mengangguk.
Walau tidak sambil menunjuk, Kamila paham siapa yang ku maksud. Aku langsung diam, ada rasa tidak nyaman setelah tahu siapa orang yang membuat Kamila sampai ingin menraktirku mie ayam seperti ini.
“Dia... namanya siapa, Mil?”
Kamila menatapku. “Pratama.”
“Ha?”
“Iya. Stt, jangan bilang siapa-siapa, ya? Yang suka dia banyak, aku mau suka diem-diem aja.”
Kamila terlihat sangat antusias hanya dengan menyebut namanya. Kulirik cowok itu sekali lagi, Pratama, ya, namanya? Kalau dilihat, dia sangat jauh dibanding Sehun. Aku tidak tahu dari sisi mana Kamila menyukainya, tapi bohong jika kubilang tidak ada yang menarik dari Pratama. Bahkan, pada pertemuan pertama kami, aku sempat terdiam beberapa saat untuk meyakinkan diri kalau cowok itu benar sedang mengajakku bicara.
***
“Bareta!”
Aku menoleh karena tepukan di bahu, tapi si pelaku juga menoleh ke belakang. Bibirku yang sudah bergerak untuk bertanya, kembali terkatup setelah tahu siapa dia.
Pratama.
“Kenapa, Ka?”
Raka, teman sekelasku datang dengan napas tersengal. “Emang bener kata orang, suka ngilang tiba-tiba adalah hobi Sabiru Bareta. Baru aja gue lihat lo di deket lapbas, udah ngilang aja.”
Sabiru Bareta?
Aku menatap Pratama, bingung. Sementara dia merespons dengan tawa, seolah membenarkan perkataan Raka, yang artinya juga membenarkan perihal nama itu.
“Sabiru Bareta?” ulangku.
Pratama— ah, maksudku Sabiru Bareta, dia menoleh padaku, kaget. Raka melakukan hal yang sama.
“Lo ngapain di sini, Bil?” tanya Raka.
Aku tergagap sesaat. “Ah, enggak. Ini mau pulang, Ka. Duluan, ya?”
“Bentar.” Sabiru Bareta menahan lenganku, dia menggeleng, lalu kembali menatap Raka. “Entar aja ngobrolnya, gue ada urusan sama Nabila.”
Aku melongo mendengarnya. Bukan karena Sabiru Bareta menolak Raka dengan alasan ada urusan denganku, tapi... sejak kapan dia tahu namaku?!
“Urusan?” Raka menatapku dan Sabiru Bareta dengan curiga. “Ada apa, nih?”
“Kepo lo!”
Raka tertawa. “Oke, deh. Gue tunggu di ruang basket, awas lo kabur.”
“Berisik.”
Mereka tos, kemudian Raka pergi. Aku masih mematung di tempat, mencari jawaban dari pertanyaan yang hanya berputar di kepalaku. Sampai tidak sadar Sabiru Bareta sedang menatapku.
“Nabila?”
“Ha?”
“Hei, jangan ngelamun.”
“Ah, iya.” Aku menggeleng cepat. “Enggak ngelamun.”
“Terus tadi apa? Bengong?”
Sabiru Bareta menarik tangannya yang ternyata masih menahan lenganku, lalu dia minta maaf.
“Aduh, aku lupa banget,” katanya tiba-tiba.
“Apa?”
“Bolpoinmu,” jawab Sabiru Bareta dengan cengiran, sepertinya merasa bersalah. “Aku selalu bawa tiap hari, tapi nggak pernah sempet kasih. Sekarang udah ketemu begini, malah nggak kebawa.”
“Ooh.” Ternyata dia ingat soal bolpoin itu. “Nggak apa-apa.”
“Kamu udah beli baru belum?”
“Belum.”
“Jangan beli, aku balikin aja punyamu. Besok, ya, kalau ketemu lagi?” katanya.
“Iya.”
Sabiru Bareta tersenyum lega, padahal harusnya ekspresi itu dia berikan setelah mengembalikan bolpoinku. Tapi entah kenapa, aku senang saat dia mengatakan ‘besok, kalau ketemu lagi’. Apa ini artinya akan ada interaksi lain antara aku dan Sabiru Bareta?
“Kalau gitu aku balik lapbas dulu, ya, Na? Entar Raka ngamuk,” pamitnya.
“Iya.”
Sekitar sepuluh langkah Sabiru Bareta menjauh, aku menyerukan namanya, suaraku lepas begitu saja. Dia berhenti, menoleh kaget. Jangankan dia, aku saja kaget.
“Sabiru?” sebutnya, kemudian tersenyum. “Iya, panggil Sabiru aja!” Sabiru mengangkat tangan dan melambai padaku. “See you next time, Nana!”
Mulai dari obrolan ini, pertemuan kami terus terjadi. Setiap bertemu juga Sabiru selalu meminta maaf karena lupa membawa bolpoin biruku. Ah, aku tidak mengharapkan bolpoin itu kembali karena sudah membeli yang baru. Tapi setiap Sabiru bertanya, jawabanku sama.
“Aku belum beli.”
Karena aku sangat ingin mendengarnya berkata, “Jangan beli, aku balikin punyamu, tapi kalau ketemu lagi, ya?”
Kalimat itu seolah menyatakan bahwa akan selalu ada pertemuan kami selanjutnya. Dan benar, bertemu dengan Sabiru menjadi kebiasaanku. Tidak sering, tapi selalu kutunggu dan kuharapkan. Ada saja yang dibahas saat kami mengobrol, Sabiru paling banyak bercerita, sementara aku mendengar dan seringkali merespons dengan tawa. Ya, karena kebanyakan ceritanya lucu. Terlebih saat dia menceritakan Raka yang marah-marah kalau Sabiru telat latihan basket.
Sampai akhirnya hari itu tiba. Sabiru datang seperti biasa, tapi ada satu hal yang terlihat berbeda. Di tangan kanannya, kulihat sebuah bolpoin biru yang tidak asing. Walau lama tidak melihatnya lagi, aku tahu itu bolpoin milikku. Ada sebuah kertas yang kutempel pada permukaan isi bolpoin, namaku tertulis di sana.
Ah, apa karena itu Sabiru tahu namaku? Aku sama sekali tidak pernah bertanya soal itu, dan bodohnya tidak ingat kalau di bolpoin yang dia pinjam tertulis nama panjangku.
Bukan itu masalahnya, tapi sekarang Sabiru yang berdiri berhadapan denganku mengulurkan tangan kanannya. Aku sudah mengerti apa arti uluran tangan itu, tapi yang kulakukan hanya menatapnya dengan kening berkerut.
“Ini punyamu,” kata Sabiru, menggerakkan bolpoin biru itu seolah memintaku segera mengambilnya.
“Punyaku?”
“Kamu lupa?” Sabiru memutar bolpoin itu, menunjukkan bagian namaku. “Nabila Tirani S namamu, kan?”
“Iya, tapi... kenapa?”
“Kenapa apanya?” Sabiru balik bertanya. “Aku balikin sesuai yang kubilang, kan?”
Aku menunduk dalam, menutup mata sejenak. Tidak, jangan menangis. Bukankah yang dikatakan Sabiru benar? Itu bolpoin milikku, dia pinjam, jadi suatu saat harus dikembalikan.
Tapi... ini terlalu tiba-tiba.
“Na...”
“Bentar, aku butuh waktu buat paham.”
“Nggak perlu,” katanya. “Aku nggak ada waktu buat jelasin.”
Kepalaku langsung terangkat, menatapnya. Sejak awal datang, ekspresi Sabiru tidak berubah. Dingin. Seolah ini hanya obrolan biasa yang tidak berarti untuknya.
“Sabiru!”
Sabiru tersentak, dia kebingungan beberapa saat. Entah karena aku yang tiba-tiba memekik, atau karena cairan bening ini tiba-tiba lolos dari ujung mataku.
“Nggak perlu, nggak perlu dibalikin. Bolpoin itu buat kamu aja, aku ada banyak.”
“Aku tau,” balasnya. “Nggak mungkin selama ini kamu nggak beli lagi dan nunggu bolpoin yang entah masih kusimpan atau nggak, kan?”
“Kamu berpikir begitu?”
“Iya. Ada yang salah?”
Sial. Rasanya aku ingin maju dan menampar Sabiru kuat-kuat. Dia tidak pernah tahu kalau sampai sekarang keyakinanku pada ucapannya masih sangat kuat. Aku percaya Sabiru masih menyimpan bolpoin yang dipinjamnya dariku. Aku percaya setiap Sabiru bilang akan mengembalikannya nanti kalau bertemu lagi, walau setiap kali bertemu kuharap Sabiru lupa membawanya lagi agar masih ada pertemuan yang lain.
“Sebenernya kamu ngajak aku ketemu di sini mau bilang apa, sih?” tanyaku setelah menghapus air mata.
“Mau balikin bolpoin.”
“Terus?”
Dia diam. Sabiru benar-benar diam. Bibirnya tidak bergerak seolah tidak ada usaha untuk mengelak atau menjelaskan. Sepertinya yang dikatakan benar, Sabiru tidak ada waktu untuk menjelaskan apa pun. Aku harusnya sadar diri dan tidak berharap apa pun juga.
“Oke, aku ambil.” Kurebut bolpoin biru itu sampai membuat Sabiru tersentak kaget. “Kalau udah nggak ada yang mau dibicarain, aku pulang.”
Aku berbalik, enggan menatapnya lebih lama lagi, dan sepertinya Sabiru juga begitu. Bahkan saat langkahku mencapai ujung jalan setapak yang selanjutnya akan membawaku ke trotoar jalan, Sabiru tidak melakukan apa pun, atau mungkin dia sudah pergi.
Ah, memangnya apa peduliku? Bukankah semua sudah jelas? Bolpoin biru ini sudah ada di tanganku, berarti tidak ada pertemuan lain kali, kan?
Lagipula sekarang kami sudah berada di jalan berbeda. Aku menyempatkan waktu untuk pulang di akhir pekan dan kembali lagi ke luar kota karena kampusku tidak berada di kota ini. Tapi yang kudapat malah hal seperti ini. Pertemuan pertama kami setelah kelulusan dan kesibukan daftar ulang kuliah adalah pertemuan terakhir untuk aku dan Sabiru.
Sejak saat itu, sampai sekarang aku berada di titik ini. Pertemuan yang dulu adalah sebuah kebiasaan rasanya hanya kenangan yang menggenang dalam ingatan. Bohong jika aku melupakan semua karena kesibukanku sekarang. Justru saat luang, memori itu kembali terputar. Begitu banyak yang telah aku dan Sabiru lalui, terlalu sukar untuk melenyapkannya walau sudah bertahun-tahun.
Aku tidak berharap Sabiru merasakan hal yang sama, perasaan ini sejak awal memang kusimpan sendiri. Aku tidak mendengar lagi kabarnya selain tahu kalau dia melanjutkan studi di perguruan tinggi yang dia impikan. Mungkin sekarang Sabiru sudah menjadi apa yang dulu selalu ia bayangkan; Jaksa. Atau bahkan melanjutkan studi lagi agar bisa mencapai cita-citanya yang lebih tinggi.
“Narendra Mahawira.”
Aku menoleh, terinterupsi oleh ucapan Kamila yang menyebut tokoh utama dalam novel terbaruku.
“Kemarin aku baca bagian terakhir dari novel ini, mereka reunian, ya?”
Perkataan Kamila membuat keningku berkerut. Dia yang mengerti lantas menunjukkan layar ipad-nya padaku, menampilkan salah satu adegan di bagian terakhir dari bukuku.
“Naren sama Salsa reuni, terus mereka interaksi lagi. Tiba-tiba Naren minta maaf.”
Aku dan Kamila bertatapan, dia memberi senyuman seolah mengerti arti sorot mataku.
“Menurutmu kalau ada di kehidupan nyata, bakal gimana ya suasa reuni mereka?” Kamila bertanya, matanya fokus menatap layar Ipad.
Aku menarik diri yang ternyata sempat merapat padanya, kusandarkan punggung lalu menghela napas. “Nggak tau.”
“Makanya datang biar tau.” Sekali lagi Kamila menunjukkan layar Ipad-nya. “Raka berisik banget, katanya tahun ini kamu harus ikut.”
Tahun ini adalah reuni ke-4 yang diadakan sekolahku, 3 acara sebelumnya kulewatkan dengan alasan ada jadwal yang tidak bisa dibatalkan. Aku tidak bohong. Selain menjadi penulis, aku juga seorang pembicara untuk beberapa seminar yang tidak hanya diadakan di dalam negeri. Ya, itu karena studi lanjutku berada di Negeri Paman Sam.
“Jadi, kamu berniat datang, kan, Mil?” tanyaku lagi, Kamila sedang bertukar pesan dengan teman sekelasnya dulu.
“Tiba-tiba pengen, katanya ada yang mau bagi undangan nikah.”
“Oh, ya?”
Kamila mengangguk. “Nggak tau siapa, makanya datang kalau mau tau.”
Aku tahu itu adalah trik Kamila untuk membujukku, dia selalu seperti itu. Reuni ini diadakan 2 tahun sekali, yang artinya sekarang sudah 8 tahun sejak kami lulus SMA, tidak heran ada temanku yang akan melangsungkan pernikahan. Bahkan Kamila sudah bertunangan bulan lalu dengan pacarnya, Pratama.
“Iya, deh.”
“Iya apa?”
“Astaga!” Aku sampai berjingkat karena gerakan Kamila yang tiba-tiba. “Iya, ikut.”
“Serius? Asik!” Kamila meninju udara, untung tidak sampai melempar Ipad-nya seperti tahun lalu saat mendengar salah satu novelku akan diangkat ke layar lebar. “Aku kabari yang lain dul—“
“Eeh, jangan!” cegahku cepat, kebiasaan Kamila yang selalu bersemangat saat senang masih belum berubah sampai sekarang.
“Kenapa, sih?”
“Kamu lupa? Aku ada acara di Bandung paginya. Kalau sekarang kamu berkoar di group dan ternyata aku mendadak nggak bisa datang, kamu bisa dikatain pembohong.”
Kamila merenung sejenak. “Betul juga, terus aku harus jawab apa? Mereka pengen ketemu kamu. Masa cuma lihat lewat chanelmu doang? Udah kayak mau ketemu artis aja, susah banget.”
“Kamu juga tau alasannya kenapa.”
“Habis acara di Bandung, aku bakal kosongin jadwalmu seminggu deh biar bisa jalan. Jadi dapat dua minggu libur, gimana?” tawar Kamila, memosisikan diri sebagai Manager yang pengertian.
“Sebulan gimana?” godaku.
Respons Kamila selalu membuatku terhibur sampai tertawa. Dia melengos dan sok sibuk lagi dengan Ipad-nya. Padahal aku tahu, yang dia lakukan adalah bertukar pesan dengan Pratama, pujaan hati sejak SMA yang akan jadi suaminya beberapa bulan lagi.
Karena tidak ada obrolan lagi, aku kembali teringat soal reuni. Tiba-tiba saja beberpa scene terakhir dalam novel terbaruku seolah tervisualisasi di kepala. Ketika Salsa datang terlambat ke acara reuni yang selalu ia lewati, ia disambut antusias oleh teman sekelasnya dulu. Pesta meriah dimulai, Salsa berbaur seolah tidak pernah ada rentang waktu yang memisahkan mereka. Kemudian, seseorang datang dari keramaian ke arah Salsa.
Orang itu adalah Sabiru—ah, maksudnya Narendra, dengan senyuman paling indah yang pernah Salsa lihat dalam hidupnya.
Apa yang seperti itu memang bisa ya terjadi di dunia nyata?
Kalau pertemuan itu benar terjadi lagi, apa aku punya keberanian untuk sekadar menyapa? Pasalnya, kalau diingat lagi, orang yang pertama berbalik pergi dan meninggalkan adalah aku.
Tapi, setiap orang akan selalu menemukan jalannya bersisihan dengan orang lain. Entah nanti akan bertemu di persimpangan dan akhirnya memilih jalan berbeda, atau malah mulai saling mengulurkan tangan dan melangkah bersama pada satu tujuan serupa.
Apa pun yang terjadi, semoga semua baik-baik saja. Satu hal lagi yang kuharap terjadi, dia tidak lupa dengan caranya memanggil namaku dulu.
Nana.
Sinopsis :
Nabila suka warna biru, bahkan semua novel yang ditulisnya ditandatangani dengan bolpoin berwarna biru. Saat Kamila bertanya alasannya, jawaban Nabila sama, dia suka warna warna biru. Hanya itu. Tapi bagi Kamila yang telah berada di sisinya lebih dari setengah usia Nabila, dia tahu benar apa yang membuat Nabila begitu menyukai warna biru, terutama bolpoin dengan tinta warna biru. Ada sebuah kisah di balik bolpoin biru itu, kisah yang dimulai dari hari pertama MPLS SMA, kisah yang secara tidak sadar ditulis dan diabadikan oleh Nabila di dalam novelnya.
Komentar
Posting Komentar