SEKAR Edisi Juni 2024 | 8 Juni Karya Saffanah Salsabila

8 Juni 

Karya ; Saffanah Salsabila

  Nama saya Anwar, usia saya sama seperti ayah pembaca yang masih remaja. Sudah  tua. Biasanya orang tua kebanyakan bersantai menikmati masa rentanya, tapi tidak dengan  saya. Setiap hari saya harus bekerja sebagai satpam di rumah sakit yang gajinya ya... lumayan  untuk kebutuhan pria paruh baya ini sendiri. Lagipula tahun ini dunia saya hanya bumi saja.  Pembaca tidak bertanya? Meskipun tidak, saya akan menjawab. Dua dunia saya telah pergi  menyisakan bayangan mereka di rumah kecil kami, saya bukan ayah yang baik. Tepat pada  hari ini tanggal 8 Juni adalah 3 tahun kepergian Wati–istri saya dan Nur–anak gadis saya sekaligus tanggal kelahiran saya. Namun, apa itu hari kelahiran? Yang saya tahu hari ini  adalah hari kehilangan dua permata saya. Tapi biarlah, saya ikhlas.  

  Pagi ini adalah pagi yang sama, setelah meneguk secangkir kopi di meja, saya  bergegas berangkat menjemput rejeki. Dengan mengenakan seragam kebanggaan,  berangkatlah diri ini dengan semangat pagi khas anak remaja. Meski sudah encok, jiwa muda  ini masih ada. Hari ini tanggal 8 Juni, kejadian itu masih terputar jelas seperti video HD  muncul di benak saya ketika melihat ingar bingar lalu lintas. Namun, saya menegarkan diri  karena tak mungkin mereka berdua tak tenang jika sudah ada Tuhan di samping mereka.  

Sesampainya di rumah sakit, saya langsung disapa hangat oleh rekan saya yang masih  baru bekerja, namanya Bayu. Dia masih muda, masih punya masa depan cerah yang sedang  dirangkai.  

 “Selamat pagi, Pak,” ucapnya dengan sikap hormat, “Alhamdulillah saya tidak telat lagi.”  Saya menepuk pundaknya dengan senyuman sebagai balasan. Hari ini saya sengaja tidak  sarapan karena kemarin Bayu janji akan membelikan saya nasi pecel khas Nganjuk, pasti  sedap. Tiba-tiba suara sirene ambulan mengurungkan niat saya untuk melahap sesendok nasi  pecel. Dengan sigap saya membuka gerbang rumah sakit, di dalam ambulan saya melihat  jelas dengan mata kepala saya sendiri ada anak yang kesulitan bernapas.  

Saya hendak bertanya pada Bayu, tapi ia sudah menjawabnya terlebih dahulu,  “Kasian ya, Pak... masih kecil sudah kena penyakit serius.” Saya hanya mengangguk pertanda setuju. Padahal masa muda adalah waktu bagi mereka untuk merajut mimpi masa  depan, bukan untuk bertarung dengan penyakit. Hari ini tanggal 8 Juni dan semoga anak  gadis itu baik-baik saja.  

Hari ini pihak rumah sakit tiba-tiba meminta saya dan Bayu untuk lembur karena  telah terjadi kecelakaan maut yang hebat di jalan tol, 8 Juni ada-ada saja. Tidak apa, lagipula  tidak ada yang menunggu di rumah. Orang tua ini sendirian. Semoga saja dapat gaji  tambahan.  

Karena ada suatu sinyal yang mengharuskan saya untuk ke kamar mandi, maka  pergilah saya. Sepertinya ini karena Bayu membeli nasi pecel yang ekstra pedas, aduh.  Sekitar 30 menit saya di dalam kamar mandi, akhirnya saya pun keluar. Namun, saya  dikejutkan oleh sosok gundul berjubah putih yang sedang menari-nari. Badan saya membeku, 

itu tuyul. Apakah ada yang memelihara tuyul di rumah sakit ini? Saya bergegas pergi tapi  malah menginjak ekor kucing yang tidur. Alhasil, tuyul itu menoleh ke arah saya. 

Namun, ternyata dia bukan tuyul. Dia mungkin anak gadis berusia 10 tahun sama  seperti Nur. Wajahnya pucat pasi, dan badannya kurus kering. Sebagai satpam yang baik saya  menghampiri gadis itu. 

 “Ngapain Adik malem-malem begini? Harusnya kan istirahat.” 

 Dia tersenyum mengangkat kedua sudut bibir pucatnya hingga memperlihatkan giginya  yang ompong, “Nay tersesat sepertinya, Pak.” Saya heran biasanya anak tersesat itu menangis,  tapi kenapa anak ini malah bahagia. 

 “Ayo, Bapak antarkan ke kamar kamu lagi ya?” 

 “Tapi Nay sudah ngga inget jalannya, Pak... lagian Nay pengen tidur sama bintang malem  ini,” ucapnya dengan memasang wajah cemberut.  

 “NAYLA!” Suara wanita paruh baya seumuran saya terdengar dari kejauhan, “Kamu  kemana aja sih, Nak... Ibu nyariin daritadi... Ya Tuhan.” Tangisan seorang ibu selalu  membuat saya tersentuh.  

 “Ibu... Nay bosen di rumah sakit terus, NAY MAU MAIN!” Anak ini memberontak, wajar  masih kanak-kanak harus berkelahi dengan godaan penyakit.  

 “NAYLA! Sekali lagi kamu bantah, Ibu akan menjewer telinga kamu, ayo cepat!” Ibu ini  menarik paksa pergelangan tangan anaknya membiarkan suara tangisan gadis kecil memenuhi langit malam. Saya seperti saksi bisu menonton pemberontakan anak terhadap  ibunya. Biasalah.  

Tak terasa pagi telah tiba, saya hampir tidak tertidur karena harus berjaga 24 jam  dikarenakan kecelakaan jalan tol kemarin telah melibatkan keluarga konglomerat. Jika sudah  melibatkan uang, superman pun angkat tangan. Pagi ini saya hendak pulang terlebih dahulu  untuk membersihkan kandang ayam, kasihan. Hanya mereka satu-satunya teman saya di kala  kesepian datang melanda. Jangan bilang saya gila.  

Setelah selesai membersihkan kandang, saya tak sengaja ketiduran di kursi kayu  hingga tak sadar bahwa jadwal saya bergantian dengan Bayu telah tiba, dia harus pergi  membantu kakeknya di sawah pada jam ini. Bergegaslah saya bersiap-siap tanpa peduli  bahwa sekarang cacing di perut saya mendengking meminta nutrisi.  

Saya menginjakkan kaki di rumah sakit dengan perasaan dag, dig, dug, dan ser.  Berharap tidak bertemu atasan. Seperti biasa Bayu menyapa saya dengan hormat meskipun  dia juga kesal dengan saya. Bayu pun berpamitan untuk pulang, tapi saya menghentikan  langkahnya saat melihat sebungkus nasi ada di atas meja.  

Bayu menjawab, “Oh, itu dari emak-emak, Pak... katanya ‘Terima kasih sudah jaga  anak saya semalem,’ begitu, Pak.” Ah, ini dari ibu anak itu rupanya. Lumayan, kebetulan 

saya juga lapar. Dibukalah bungkusan nasi itu, wah... nasi kucing, saya bukan pecinta kucing  tapi saya suka nasinya.  

Di tengah kegiatan favorit saya ini, mata saya menangkap seseorang yang hendak  keluar dari gerbang rumah sakit. Ia dengan susah payah mendorong pintu itu akan tetapi ia  selalu gagal membukanya. Saya tahu dia. Bergegas saya langkahkan kaki saya sebelum dia  berhasil membuka gerbangnya.  

 “Adek mau main kemana kali ini?” tanya saya masih dengan memakan sisa nasi kucing  yang hinggap di jari-jemari. Dia tidak menjawab, dia memeluk saya, dan menangis. 

 “Nay pengen kayak anak-anak yang lain... kenapa ibu ngga pernah ngertiin Nay....” Saya  berjongkok ingin menyejajarkan tinggi saya dengannya.  

 “Adek kan belum sembuh... nanti kalo sudah sembuh pasti sama ibu bakal diijinin main  kok.” Sempat saya berpikir bahwa dia adalah Nur, maka dari itu saya mengelus lembut  kepalanya.  

 “Nay maunya sekarang, Pak... apa hidup Nay emang harus terus ditemenin sama kak suster  ya?” Saya tentu menggeleng cepat.  

 “Itu ga bener, Nak... hmm... gimana kalo hari ini main sama Bapak dulu?” Wajah anak ini  langsung semringah, jika pembaca ingin tahu seperti apa... maka akan saya katakan seperti  matahari terbit. Hangat dan indah.  

 “MAU MAU, Bapak ada mainan apa? Jangan bilang boneka-bonekaan lagi, Nay sudah  bosan,” ungkapnya dengan penekanan pada kalimat terakhir.  

 “Adek mau main apa?” tanya saya. 

 “Bola! Nay pengen jadi Ronaldo.” Anak ini aneh.  

 “Oh, Bapak punya mainan yang lebih seru lagi.” Matanya mengeluarkan cahaya yang  berbinar-binar pertanda ingin tahu. Saya langsung menggandeng tangannya yang hangat  menuju pos saya. Ia duduk di kursi Bayu tanpa disuruh, entahlah... dia anak yang aneh. Ia  bahkan membawa infusnya sendiri hanya demi bermain.  

Setelah menunggu beberapa detik, ular tangga muncul di tangan saya. Permainan  kesukaan Nur yang saya bawa setiap hari. Anak ini menatap bingung benda yang saya  pegang seperti baru pertama kali melihatnya.  

 “Itu apa, Pak?” Benar sekali dugaan saya, saya pun menjelaskan permainan itu secara detail dan dia cepat sekali mengerti. Sepanjang hari saya habiskan waktu di pos bermain dengannya  sembari berjaga juga pastinya. Hingga sore hari tiba, 3 suster berkerumun hendak menuju  gerbang utama.  

Salah satu suster menghampiri, “Pak, apa Bapak keliat— “ Suster ini belum sempat  menyelesaikan perkataanya Nayla sudah memotong kalimatnya, “Kakak lagi nyari Nay, kan? 

Ayo pulang, Nay sudah cukup mainnya disini, Nay sudah seneng, Kakak ngga sama ibu, kan?” tanyanya memastikan.  

Tiba-tiba sosok wanita yang sedang dibicarakan itu muncul dari belakang pos saya,  “Kata siapa? Cepet balik!” ucapnya tegas.  

Meskipun ketakutan, anak ini berjalan masuk ke dalam pos saya dengan  mengucapkan, “Terima kasih udah main sama Nay, kenalin nama Nay adalah Nayla, nanti  kita main lagi ya, Pak, jangan bilang ibu.” Bisikan kecil itu menyentuh hati saya yang telah  lama merasakan kehampaan. Tiga tahun lamanya hati ini dilanda kekosongan, 3 tahun  lamanya diri ini hanya merasakan keheningan. Hari ini kenapa semuanya tampak kembali  berwarna? Ya Tuhan apakah ini kesempatan kedua? 

Kali ini ibu anak itu tidak meninggalkan saya begitu saja menjadi saksi bisu, ia masuk  sebentar ke dalam pos saya dan berterima kasih sembari membungkukkan badannya merasa  tidak enak hati.  

 “Tidak apa, Bu... namanya juga anak kecil, tenang saja,” ucap saya dengan bijak. Hari ini  selesai dengan perasaan rindu yang kembali menggebu, gara-gara anak itu, anak pemilik  senyuman menyentuh kalbu.  

Sepulang dari bekerja saya berniat untuk meluapkan rasa rindu dengan pergi ke rumah  kedua saya—peristirahatan terakhir dua permata saya. Saya duduk diantara batu nisan mereka  berdua tanpa sepatah katapun. Saya biarkan air mata yang berbicara karena sejatinya saya  bukanlah pria yang pintar merangkai kata-kata ‘tuk luapkan perasaan. Saya hanya memohon  semoga semua berjalan dengan lancar meskipun saya sendirian di dunia ini.  

Esok hari telah tiba, entah mengapa saya merasa bahwa tadi malam adalah malam  terpanjang yang pernah saya alami. Tiba-tiba saja saya ingin berbicara dengan anak itu,  bermain dengannya, bercanda ria, dan sebagainya. Hari ini dengan seragam kebanggaan saya  membawa mainan baru di dalam tas, berharap gadis kecil itu datang kembali ke pos saya.  Dan ya, dugaan saya benar. Anak itu pagi-pagi sudah berada di pos saya berteriak  memberontak kepada Bayu.  

 “Gapapa, Nak Bayu... dia emang sering kesini kok.” Saya senang sekali. Anak ini  menjulurkan lidahnya ke arah Bayu.  

 “Ayo main lagi, Pak! Ibu lagi kerja, jadi aman, kali ini mau main apa?” Dia menarik tangan  saya menuju ke dalam pos. Saya mengajaknya bermain beralaskan karpet bergambar kartun  yang saya bawa dari rumah. 

 “Hari ini kita bermain puzzle,” ucap saya. Sejak saat itu anak ini seringkali menemui saya  di pos, setiap hari pun saya membawa mainan yang baru untuknya agar ia tidak merasa bosan.  Terkadang saat saya lembur dia juga menemani saya sembari saya suguhkan beberapa  dongeng, seperti yang Wati lakukan dulu untuk Nur. Setiap hari aktivitasnya hanya tidur,  bermain dengan saya, dan kembali sehabis maghrib tepat saat ibunya pulang kerja. Apakah  dari dulu pekerjaan saya menjadi semenyenangkan ini? 

Hingga pada suatu pagi, saya tidak melihat kehadirannya. Tak merasakan  kehangatnnya, tak menikmati senyumannya. Mungkin ibunya cuti, saya pikir. Pagi kedua  masih sama. Begitu pula dengan pagi ketiga hingga pagi ketujuh atau sudah seminggu berlalu  semenjak terakhir kali saya menceritakan dongeng tentang putri yang cantik jelita kepadanya.  Padahal saya membawakan mainan baru, mainan yang saya beli sendiri dan bukan lagi  pinjam mainan Nur. 

Saya pun bertanya kepada Bayu, “Anak itu... apa tidak datang lagi, Nak?” Bayu  menggeleng sembari mengucapkan ‘tidak.’ Saya bertanya lagi, “Kemarin?” Bayu  menggeleng lagi.  

 “Dia sakit apa ya sebenarnya...?” Dengan sigap Bayu meletakkan secangkir kopi miliknya. 

 “Dia sakit cukup serius, Pak... makanya waktu itu saya paksa balik ke ruangannya eh malah  minta main sama Bapak,” balasnya. 

 “Sakit serius?” tanya saya kembali. 

 Bayu mengangguk cepat, “Bapak sudah bertemu anak itu sebelumnya, kan? Yang waktu itu  susah napas... kalo tidak salah pas tanggal 8 Juni, hari kelahiran bapak kalo Bapak masih  tidak ingat.” 

Terkejut, saya menghentikan aktivitas mengopi saya dan langsung bergegas menuju  rumah sakit. 

 “Mau kemana, Pak?” tanya Bayu 

 “Titip dulu sebentar ya, Nak.” Saya hendak menjenguk anak itu, 8 Juni bagi saya bukan  tanggal yang baik. Semoga anak periang itu baik-baik saja. Saya langsung menyambar  resepsionis hendak menanyakan di mana ruangan anak itu. 

 “Anak itu siapa ya, Pak?” Aduh, saya kebiasaan dengan panggilan buruk itu. Saya langsung  menyebutkan namanya meskipun bibir ini kelu karena setiap kali menyebutkan namanya saya  selalu teringat Nur yang dimana nama mereka memiliki makna yang sama yaitu cahaya.  

Tapi sayangnya saya kembali bingung karena ternyata nama pasien yang memiliki  nama serupa cukup banyak.  

 “Anaknya berusia sekitar... 10 tahun.” 

 “Ah, mungkin maksud Bapak Nayla Suryanti, soalnya disini cuma—“  “Di mana ruangannya, Mbak?”  

 “Ruang Anthurium nomor 13, Pak.” Begitu mengetahui di mana ruangannya saya langsung  bergegas menuju ruangan yang terletak di lantai 3 itu. 

Tepat di lantai 3 hal yang pertama saya tuju langsung ruangan anak itu. Saya intip  sedikit jendela yang ada di pintunya berharap saya tidak salah ruang. Namun, tidak terlihat. 

Saya buka saja gagang pintunya dengan berani, saya sudah sampai di sini. Jadi, harus terus  maju. Dan benar sekali, di sana saya melihat ibu dari anak itu. Sedangkan anak itu... ah,  sudah tidur rupanya.  

 “Eh, Bapak? Silahkan duduk dulu,” pinta Lilis—Ibu anak itu. Saya pun duduk di sofa dekat  ranjang anak itu, memandangnya dengan wajah sedih dan ingin mendekapnya, serta ingin  meyakinkannya bahwa dia masih punya secercah harapan untuk berjalan di atas bumi ini. 

 “Bagaimana keadannya, Bu?” tanya saya memulai obrolan.  

 “Alhamdulillah sudah membaik, Pak... gatau kenapa waktu itu kondisi Nayla buruk sekali,  Pak... padahal malamnya dia sangat gembira, katanya habis dengerin cerita dari susternya,  tapi sebenernya saya tau kalo Nayla dapet dongeng itu dari Bapak, saya seneng banget, Pak...  sampai paginya....” Bu Lilis terisak. 

 “Sabar, Bu... semua pasti baik-baik saja. Saya tau Nayla anak yang kuat dan penuh  semangat, dan maafkan saya... mungkin karena sering saya ajak beraktivitas kondisinya  semakin menurun...,” ucap saya menunduk. 

 “Tidak, Pak... saya sangat berterima kasih pada Bapak karena telah mengembalikan sosok  ayah dalam hidup Nayla, saya sangat menyayanginya, tapi tanpa sosok ayah dia tetap tak  mampu hidup di dunia ini, saya tidak bisa melakukan apa-apa....” 

 “BAPAK!” ucapnya terbangun karena mendengar percakapanku dengan Lilis. Anak itu  berseru bangkit dan hendak beranjak dari ranjangnya sembari membawa infusnya, tapi  dengan segera saya yang terlebih dahulu menghampirinya. Saya mendekapnya sebentar saja,  mengelus lembut pipinya, dan tersenyum padanya.  

 “Maaf ya Nay udah lama ga main sama Bapak...,” ucapnya sembari membungkam mulutnya karena keceplosan telah berkata jujur di hadapan ibunya. Namun, Lilis sama sekali  tidak marah.  

 Saya menggeleng, “Tidak apa-apa, Nak... gimana kalo mulai hari ini kita main di sini aja?” Anak ini mengangguk antusias.  

 “Tapi Nay juga pengen main di luar....” Saya menatapnya dengan lembut berharap ia  terhipnotis dengan perkataan saya.  

 “Nanti kalo kamu udah sembuh Bapak janji bakal ajak kamu jalan-jalan ke kebun binatang,  mau kan?” Anak ini langsung berdiri di atas ranjang sembari melompat-lompat. Lilis yang  melihat aksi anaknya ini langsung memarahinya.  

 “Hari ini Bapak bawain buku mewarnai, lho, liat... ada gajah, singa, dan lain-lain,” ucap  saya sembari menunjukkan satu persatu hewan di dalam buku serta langsung memberikan  krayon untuk pewarnanya. Sepanjang hari saya habiskan waktu untuk menemani anak ini,  mulai dari bermain, belajar hal baru, dan sebagainya. Saya baru bisa kembali bekerja saat ia  

sudah tertidur pulas karena terkena efek obat. 

 “Terima kasih banyak, Pak...,” ucap Lilis dengan berlutut pada kaki saya. Dengan sigap  saya hendak mengurungkan niatnya itu, saya hanya orang tua, bukan Tuhan.  

Sejak saat itu, saya benar-benar menepati janji saya dengan selalu mengajaknya  bermain. Setiap hari saya mengajaknya untuk melakukan hal baru seperti: menyusun lego,  bermain tebak kata, dan membuat rumah-rumahan kecil seperti yang Wati lakukan dulu agar  Nur bisa tidur pada malam hari. Hari demi hari pun ia terlihat semakin kurus dan pucat, tapi  semangatnya tak hilang sedikit pun.  

Pembaca tahu? Tak terasa saya sudah bersamanya selama berbulan-bulan. Karena  kehadirannya saya merasa bahwa saya ingin menjadi satpam sampai akhir hayat saya, satpam  untuknya. Syukurlah, keadannya semakin membaik pada akhir tahun ini.  

Besok malam adalah malam tahun baru di mana saya harus menepati janji tadi malam  yaitu mengajak anak itu untuk melihat kembang api. Sepanjang malam ia tak henti-hentinya  menyiapkan segala keperluan yang diperlukan untuk piknik malam di bawah bintang  gemintang sembari melihat kembang api di awal tahun. Saya senang sekali ketika melihatnya  aktif menyiapkan segalanya tanpa bantuan infus lagi, tapi meskipun begitu ia harus tetap  berada di rumah sakit sampai dokter memberikan keputusannya.  

Pagi datang menyapa dengan hangat, nanti malam adalah waktunya. Lilis dan saya  sibuk bekerja pada pagi harinya sedangkan anak itu saya beri syarat dengan harus istirahat  sepanjang waktu untuk bisa melihat kembang api nanti malam. Syukurlah anak itu menuruti  perintah saya. Tepat pukul sepuluh malam anak itu muncul lewat jendela pos saya,  mengingatkan saya akan janjinya. 

 “AYO! AYO! Cepet, Pak... bentar lagi tahun baru!” serunya senang. Saya juga senang.  Bergegaslah saya keluar dari pos dan berpamitan pada Bayu.  

Lilis dan 3 suster setia Nayla sudah menunggu dengan duduk beralaskan tikar  polkadot berwarna cokelat. Sepanjang waktu kami habiskan dengan membahas  perkembangan anak itu, cita-citanya, sekolahnya, dan semua tentangnya. Hingga tiba satu  waktu salah satu suster menanyakan hal yang menyakitkan bagi saya.  

 “Keluarga Bapak di kampung bagaimana?” tanya Rina—salah satu suster anak itu.  

 Saya mengawali jawaban dengan tertawa, “Saya asli sini dan saya hidup sendiri, Mbak, istri  dan anak saya sudah lama meninggal.” Rina langsung meminta maaf kepada saya.  Sebenarnya tak masalah, hanya hati saja yang gundah.  

Suasana canggung sebentar sampai anak ini membuat hamburger khas kartun kuning  yang saya tunjukkan kepadanya beberapa waktu lalu. 

 “Krabby Patty pertama buat Bapak, kedua buat Ibu, dan ketiga buat kakak-kakak, terima  kasih ya sudah jadi temannya Nay.” Lilis dengan kuat mendekap erat tubuh anak itu. Pukul  12 malam sedikit lagi akan memunculkan kehadirannya.  

3... 2... 1

 “Happy new year!” ucap kami serentak.  

 Di tengah-tengah kobaran kembang api, anak itu berbicara lewat gendang telinga  saya, ”Nay berharap Nay punya ayah kayak Bapak, Nay sayang Bapak.” Hati saya sangat  tersentuh saat mendengar suara kecil itu menggema di seluruh otak saya. Bagaikan simfoni  lagu yang menenangkan pikiran perkataan itu seakan-akan menghipnotis saya untuk terus  berada di sisinya dan berperan sesuai harapannya. Meski saya bukan ayah yang baik, saya  akan terus mencoba untuk selalu menemani anak ini berjalan melewati hitamnya dunia dan  membawa putihnya dunia kepadanya. Setelah mengucapkan kalimat itu, ia pun duduk di  pangkuan saya hendak menonton kembang api dengan posisi yang nyaman.  

Tepat pada keesokan harinya saya tidak mendapatkan waktu luang untuk bermain  bersama anak itu karena atasan menyuruh saya untuk berjaga setiap waktu dan juga Bayu  sudah tidak masuk kerja beberapa hari dikarenakan ia harus pulang kampung demi merawat  ibunya yang sakit. Saya sendirian. 

Tak jarang anak itu merengek lewat telepon meminta bermain bersama saya, tapi saya  berhasil mengobati lukanya dengan perkataan lembut saya dan janji akan segera  mengajaknya pergi ke kebun binatang. 

Beberapa bulan kemudian... 

Juni telah tiba. Berbulan-bulan telah berlalu, tapi kesibukan saya tak kunjung berlalu.  Saya bisa mengunjungi anak itu untuk bermain sesekali, tidak se-leluasa tahun lalu  dikarenakan pada awal tahun salah satu gedung rumah sakit banyak disewa untuk sebuah event. 

Hari ini saya berniat untuk memenuhi janji saya pada anak itu. Anak ini bahkan sudah  meminta surat keterangan ijin pada dokter semalam ditemani oleh Lilis. Dokter memberi  kami waktu sekitar 1 jam untuk beraktivitas di luar ruangan. Sesampainya disana, saya dan  anak ini melakukan banyak hal. Mulai dari berfoto bersama jerapah, memberi makan kelinci,  menakut-nakutinya dengan ular, dan menunggangi kuda. Sampai pada akhirnya ia nampak  kelelahan. Saya mengajaknya duduk di sebuah gazebo yang dijaga oleh Lilis sedari tadi. Saya  membelikan susu rasa vanila kesukaannya, dengan hitungan detik susu itu langsung ludes,  diminum oleh pemiliknya.  

 “AH, SEGARNYA!” serunya. Setelah itu tiba-tiba saja ia berteriak sembari tertawa. 

 “Nay pengen beliin Bapak rambut palsu, kira-kira Bapak masih keliatan keren apa ngga ya  kalo kepalanya ngga botak,” ucapnya dengan mata tertuju pada badut yang membuka wig di  kepalanya. Anak ini tidak sadar bahwa dirinya juga botak. 

 “Hush, Nayla ngga boleh gitu ga sopan,” ungkap Lilis. Saya hanya tertawa, saya tak ingin  mempunyai rambut. Biarlah, dengan botak saya merasa mempunyai 2 matahari; kepala saya  yang bersinar, dan juga matahari.  

 “Ulang tahun Bapak kapan?” tanyanya. 

 “8 Juni, kalo kamu?” tanya saya. Anak ini mengerjapkan matanya berkali-kali, dan  meninggalkan kursi. 

 “SAMA DONG! Ayo kita rayain bareng, Pak, sebentar lagi. YEY!” ucapnya dengan  melompat kegirangan hingga ia hampir jatuh terhuyung, Lilis pun memarahinya. 8 Juni ya...  jarang sekali 8 Juni membawa kabar yang menyenangkan. Hari ini tanggal 7 Juni, semoga  besok urusan ini berjalan dengan lancar.  

Demi memepersiapkan perayaan ulang tahun anak itu, Lilis rela mengambil cuti akan  pekerjaanya. Ia totalitas menyiapkan semuanya, dimulai dari membuat kue, mendekorasi  ruang rawat anak itu, dan mengundang keluarganya yang berada di kampung. Acaranya akan  dimulai pukul 3 sore dan saya sudah tiba setengah jam sebelum acara dimulai.  

Dengan membawa kotak kado yang cukup besar saya melangkah perlahan hendak  mengejutkan anak itu. Ia tengah duduk termenung di depan jendela menonton aktivitas orang  normal.  

 “Happy birthday to you.” Ungkap saya semringah, “Kenapa melamun, Nak?” tanya saya.  

 Dia menyeka pipinya yang basah karena buliran bening tengah mengalir dari matanya,  “Nay bersyukur... meski hidup Nay ga kayak orang lain, tapi Nay seneng banget masih bisa  bahagia, terima kasih, Pak...,” ucapnya dengan memeluk saya erat.  

Jam menunjukkan pukul 3 sore, waktunya acara ulang tahun dimulai. Semua tamu  undangan telah tiba, keluarga anak ini tidak banyak, tapi jumlah mereka semua sudah cukup  untuk merayakan ulang tahun anak ini. Acara diawali dengan doa yang saya pimpin. Setelah  itu, kami menyuruh anak itu untuk memotong kue yang berbentuk Hello Kitty kesukaannya. Pembaca tahu? Ia memotong kuenya sembari menunjukkan senyuman itu lagi, senyuman  seindah matahari terbit. Hangat dan indah.  

Saya pun membuat game sederhana, yang tahan untuk tidak tertawa akan lawakan  saya maka ia pemenangnya. Namun, anak itu berkali-kali tertawa mendengar lelucon saya.  Kami sudah terbiasa melakukan lelucon ini, dan anak itu memang tak bisa menahan tawanya  saat mendengar lawakan saya. Padahal mungkin kata orang lain lawakan saya tak selucu  lawakan Kang Sule.  

Acara ulang tahun diselenggarakan hingga pukul delapan malam. Saya cukup  bersenang-senang hari ini, tahun ini saya mendapatkan kado ulang tahun yang sangat  berharga. 8 Juni tak selalu menyakiti saya ternyata, semoga seterusnya akan begini. Dengan  segera saya membereskan semua kekacauan yang telah diciptakan oleh pesta ulang tahun tadi,  saya ingin malam ini anak itu beristirahat dengan tenang tanpa gangguan sedikitpun.  

 “Happy birthday, Bapak!” ucapnya tiba-tiba sembari membawakan saya kue bulat  berbentuk pria berkepala botak seperti saya.  

 “Nayla bilang pengen ngerayain ultah Bapak bertiga aja, yaudah saya turutin,” ucap Lilis.  Saya pun berjongkok menyejajarkan tubuh saya dengannya. 

 “Ternyata Bapak keren ya bisa jadi kue,” ucap saya bercanda. Sisa malam itu kami  habiskan di depan jendela rumah sakit sembari menatap bintang malam yang bersinar indah.  Kue botak telah ludes dimakan oleh anak itu, saya hanya memakan kumisnya saja karena  tahu anak ini sangat menyukai makanan manis.  

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam pertanda waktunya anak ini untuk  beristirahat. Namun, bukannya istirahat anak ini malah berpamitan untuk mengambil sesuatu  di lemarinya.  

 “Selamat ulang tahun, Bapak, ini kado dari Nay, Nay yakin Bapak pasti suka.” Ini pasti wig yang ia katakan waktu itu. Saya sangat senang sehingga saya berniat untuk membukanya  langsung, tapi anak ini melarangnya. 

 “Eits... bukanya kalo Nayla sudah tidur aja biar seru, Pak.” Saya turuti saja kemauannya  dengan anggukan kepala. Setelah itu Lilis langsung membantu anak itu untuk beristirahat.  Malam ini dia pasti akan tidur dengan tenang dan nyaman karena pesta ulang tahunnya  berjalan dengan sangat menyenangkan.  

Setelah melihatnya tertidur pulas saya berniat untuk mengunjungi pos saya sembari  mencari udara segar. Di sana saya melihat Bayu yang duduk dengan mata terpejam, saya  tertawa. Wajarlah, berjaga seharian bukanlah hal yang mudah. Saya duduk di kursi saya  sembari meneguk secangkir kopi yang sudah dingin. Saya bersyukur atas apa yang telah  terjadi hari ini. Karena lelah saya letakkan kepala saya di atas meja, membiarkan mata ini  terpejam sejenak melepas semua lelah yang telah saya buat pada hari ini.  

Belum sampai satu jam saya memejamkan mata, saya dibangunkan oleh nada dering  telepon yang berada di saku celana saya. Anak itu menelepon dengan suara yang aneh, suara  yang tidak pernah ia keluarkan. Saya tidak tahu apa maksudnya jadi saya langsung bergegas  menuju ruangannya mungkin ia sedang membutuhkan sesuatu.  

Sesampainya disitu saya melihat 3 suster setia anak itu keluar dari ruangannya. Saya  berlari hendak bertanya. 

 “Apa sudah terjadi sesuatu, Mbak.” Raya–salah satu susternya mengangguk seraya ingin  menangis. Seakan tahu apa maksudnya saya langsung bergerak masuk ke ruangan anak itu.  Saat memasuki ruangannya... sungguh, pemandangan apa ini? Bagaimana ini bisa terjadi?  Padahal tadi anak ini tersenyum dan tertawa tanpa henti. Mengapa sekarang kondisinya  sangat buruk sekali, bukannya dia sudah mencapai proses penyembuhan? Apakah semua itu  hanya ilusi yang Engkau buat, wahai Tuhan? 

Saya mendekatkan diri saya menuju ranjangnya, menangis melihat kondisinya yang kesulitan bernafas, tubuhnya kejang-kejang, mulutnya terbuka, tapi matanya terpejam. Ya  Tuhan... tolonglah dia. Saya tak tahu apa yang harus dilakukan, alhasil saya memeluk  tubuhnya tapi kondisinya pun tak kunjung membaik. Hingga dokter datang meminta saya dan  Lilis untuk menunggu di luar. 

Sekitar dua jam saya tak tenang, bolak-balik kesana dan kemari tak tahu apa yang  harus dilakukan selain berharap yang terbaik. Sedangkan Lilis terdiam dengan tatapan kosong  menatap ke depan. Tak lama kemudian dokter keluar dari ruangan itu.  

 “Gimana keadaan anak saya, Dok?” tanya Lilis. 

 “Ibu dan Bapak harus tenang ya, Nayla-nya sudah bisa dijenguk.” Saya mendahului Lilis  memasuki ruangannya. Kondisinya membaik, setidaknya tak seburuk tadi. Matanya terbuka  menatap kosong atap rumah sakit yang berwarna putih, kedua manik matanya menangkap  kehadiran saya dan Lilis.  

Ia berbicara dengan suara yang sama saat di telepon tadi, “P–Pak... I–Ibu... maaf...,”  ucapnya terbata-bata. Kami berdua langsung mendekati anak ini, Lilis mencium tangan dan  keningnya sedangkan saya mengelus lembut kepalanya. Kami menangis. 

 “Bapak... ter–terima kasih sudah bikin Nay ba–hagia, Ba–pak su–dah jadi ayah ter–baik N– Nay,” ucapnya parau, “Nay... ga sakit kok, Ba–pak sa–ma I–bu ja–jangan sedih.” Melihat  anak yang periang ini tiba-tiba terkapar tak berdaya di ranjang rumah sakit membuat hati ini  sungguh sakit.  

 “Maaf... Nay se–lalu nge–repotin Ib–bu dan... Ba–pak, Nay sayang Ibu dan Bapak.” Tepat  setelah mengatakan kalimat itu, ia menghembuskan nafas panjang serta memejamkan mata.  Selamanya.  

 “Nayla...,” ucap saya lirih.  

Semuanya sudah selesai, akhir cerita saya dan Nayla ternyata juga berakhir dengan  meninggalkan saya sendiri. Tepat pada pukul 02:00 dini hari tanggal 9 Juni, Nayla  menghembuskan nafas terakhirnya dan benar kata saya... dia pasti akan tidur dengan tenang  dan nyaman malam ini.  

Nayla meninggalkan ibunya yang menangis tersedu-sedu dan saya yang menangis  dengan memeluk tubuh mungilnya. Padahal akhir-akhir ini semuanya nampak baik-baik saja.  Kami baru merayakan ulang tahun kami, lho, 8 Juni baru saja terjadi dan hari itu sangat terasa menenangkan dan menyenangkan. Kenapa keesokan harinya harus terjadi kejadian yang  mengharukan? Ingin berkata bahwa Tuhan tidak adil, tapi itu sudah pasti tidak benar. Nayla  sudah menjadi bidadari kecil di surga, tertawa bersama teman-teman yang ia impikan.  

Nayla... Bapak juga sayang Nayla. Terima kasih sudah menganggap ayah yang tidak  baik ini menjadi ayah terbaik di dunia.  

TAMAT

SINOPSIS 

Malam itu saya pulang sehabis kerja serabutan. Akhir-akhir ini cobaan hidup  menggoda saya untuk terus mengeluarkan amarah yang terpendam dalam diri saya. Ditambah  lagi anak dan istri yang sepanjang hari membuat saya semakin pening. Malam ini mereka  berulah lagi. 

 “Yah, Nur makin demam, kita harus bawa dia ke rumah sakit.” 

 “Mau pake uang siapa, ha? Pake uang Bapakmu?” balas saya ketus. Malam itu hujan, tapi  Wati bersikeras untuk membawa Nur dengan menaiki motor butut saya.  

Malam itu tanggal 8 Juni saya tidur, dan paginya saya menangis karena ternyata itu  adalah malam terakhir kehidupan keluarga kecil saya. 

Nama saya Anwar, dan saya bukan ayah yang baik. 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEKAR Edisi Bulan Mei-Juni 2023 | Jalan yang Terang untuk yang Bertahan oleh Bella Najwa Muzdha

PROFIL

LITERAFILM: HOME SWEET LOAN (2024)