Takdir I Farah Dwi Nurmala
IDENTITAS PENULIS
Nama
: Farah
Dwi Nurmala
Divisi
: BPH
Jenis : Cerita Pendek
TAKDIR
Beberapa
hal memang berjalan tidak sesuai harapan. ketika itu terjadi, maka tidak ada
yang dapat kita lakukan selain ikhlas. Mengikhlaskan sesuatu yang telah lama
bersama kita memang tidak mudah, itu kata Papa. Papa pernah bilang, jika kita
harus merelakan sesuatu yang berharga untuk kebaikan, maka itu takdir.
Kala
itu usiaku 7 tahun, belum sepenuhnya mengerti apa yang Papa katakan kepadaku
bahkan, lebih tepatnya tidak mengerti sama sekali karena aku hanya sibuk
memakan es krim yang sudah meleleh sampai menetes jatuh mengotori rok merah
seragam sekolahku. Masih aku ingat betul hari itu, hari dimana untuk pertama
kalinya aku merasakan kehilangan. Kehilangan gantungan kunci boneka kelinci
hadiah dari tante siwi, adik dari mama yang baru pulang dari manado. Aku
menangis di depan sekolah sembari menunggu Papa datang menjemput. Sekian
banyaknya orang yang berlalu lalang di depan sekolah, terutama para orang tua
yang menjemput anak mereka atau teman-teman sekelasku yang keluar dari gerbang,
tidak ada seorangpun yang bertanya kenapa aku menangis, miris.
Tidak
butuh waktu lama, Papa datang. Saat itu Papa telat 7 menit. Bagaimana aku tahu?
bukan aku yang menghitung, aku lemah dalam hal berhitung bahkan saat itu aku
tidak melihat jam karena tidak memiliki jam tangan berwarna putih dengan lampu
kelap-kelip jika tombolnya dipencet yang sedang tren saat itu dan semua temanku
memilikinya, hanya aku yang tidak. Papa yang akan memberi tahu berapa menit
Papa telat menjemputku seperti, “maaf ya Papa telat 3 menit” atau “nunggu lama
ya? telat 5 menit soalnya, maaf ya”. Lucu sekali jika diingat. Kata Mama, Papa
adalah manusia paling on time di dunia, dan aku setuju.
“Kamu
nangis gara-gara papa telat 7 menit?, maaf ya cantik” kata Papa sambil menyeka
air mataku dengan tangan kekarnya. Aku cemberut, pertanda Papa salah menebak,
tapi saat Papa bertanya kenapa, aku tidak menjawab. Aku menunjukkan gantungan
kunci di tas menghilang, Papa diam. Dalam hatiku, bukan reaksi seperti itu yang
aku inginkan. Aku ingin Papa bereaksi khawatir, kaget atau panik seperti aku
yang meluapkan kepanikanku dengan menangis.
“Oh...
es krim siang-siang gini pasti enak.” aku menoleh ke Papa. Hebat, kata ‘es
krim’ mampu membuatku berhenti menangis. Papa membelikanku es krim rasa
vanilla, lalu kita pulang.
Bukan
gantungan kunci boneka kelinci hilang yang ingin aku ceritakan, gantungan kunci
itu hanya prolog yang pernah membuatku mengerti rasa kehilangan untuk pertama
kalinya dan melewati rasa kehilangan itu bersama Papa yang selalu ada dengan
kata bijaknya,
“Jika
kita harus merelakan sesuatu yang berharga untuk kebaikan, maka itu
takdir.”
Seperti
waktu itu juga, kelas berapa ya tepatnya? oh kelas 5 SD. Aku kehilangan komik
serial kesukaanku. Sebelum berangkat sekolah, aku selalu memasukkan komik itu
ke dalam tas. Tapi hari itu, komik itu hilang.
“Mungkin
kamu pinjamin ke temanmu, terus kamu lupa”
“Aku
ingat Ma, tadi malam masih ada”
Papa
keluar dari kamar setelah mengambil kunci sepeda motor, “tandanya emang harus
hilang”.
“Kok
harus hilang sih, Pa?” tanyaku tidak setuju. “Selama ini kamu cuma baca komik,
Papa liat buku pelajaranmu masih mulus seperti tidak pernah disentuh,” Mama
menahan tawa karena perkataan Papa benar. Aku hanya bisa menunduk dan diam, apa
yang Papa katakan memang benar.
“Jika
kita harus merelakan sesuatu yang berharga untuk kebaikan, maka itu
takdir.” Lanjut Papa.
Papa
adalah sosok yang sederhana dan irit bicara. Bicara seperlunya tapi mampu
menyihir semuanya. Jika bukan karena Papa, tidak akan ada dokter di keluarga
ini.
“Kamu
mau gak jadi dokter? kalau Papa sakit kan tidak usah keluar uang buat bayar
dokter” Celetuk Papa saat makan malam keluarga, usiaku 13 tahun waktu itu.
Mulai
hari itu, setiap orang yang bertanya apa cita-citaku, aku jawab dengan tegas
dan lantang,
“Dokter”.
Kelas
2 SMA, aku merasakan cinta pertama untuk pertama kalinya dan juga patah hati
kepada orang yang sama.
“Ternyata
sudah punya pacar, Pa”.
“Wah…
maaf anda belum beruntung” canda Papa.
Melihat
aku yang sedih, mungkin itu menjadi pertama kalinya bagi Papa. Anak perempuan
pertamanya menjadi korban atas rasa asmara yang datang dan pergi dengan
menyakiti.
“Jika
kita harus merelakan sesuatu yang berharga untuk kebaikan, maka itu takdir,”
kepalaku semakin menunduk berusaha menyembunyikan air mata yang mulai
menggenang di mata.
“Lagi
pula, itu pertanda baik, supaya kamu lebih fokus belajar dulu, katanya mau jadi
dokter. Kalau sudah jadi dokter, laki-laki mana yang mau nolak?” Lanjut Papa.
Aku tersenyum memeluknya, aku menyadari sesuatu, bukan laki-laki itu cinta
pertamaku tapi Papa.
Hari
kelulusan dimana aku menyelesaikan kuliah kedokteran, “Mama lagi gak sakit
apa-apa gitu?, biar diperiksa sama bu dokter cantik nih,” goda Papa. Aku
tersenyum lebar, kita bertiga berfoto di taman kampus. Betapa bahagianya hari
itu, Papa memelukku bangga.
Orang
kampung rumah semuanya tahu, aku dokter. Setiap ada kerja bakti, ronda malam,
pulang hajatan, dengan topik yang sama, “oh, anakku dokter. Belajarnya dari
pagi sampai malam, bukunya banyak, sekarang sibuk sekali banyak pasien di rumah
sakit, tidak bisa ditinggal”.
Sudah
2 tahun aku tidak pulang ke rumah. Dipindah tugaskan ke luar provinsi rasanya
begitu berat. Meninggalkan Papa dan Mama jauh dari kampung halaman. Awalnya
Papa selalu telfon setiap minggu, sering tidak aku angkat karena sibuk, lalu
papa telfon sebulan sekali. Jawaban yang sama 2 tahun terakhir, “maaf ya Pa,
kayaknya gak bisa pulang dulu”.
Sampai
tiba hari itu, pasien rumah sakit sangat banyak. Kecelakaan baru saja terjadi,
dua orang harus di operasi segera. Di lain tempat, telfonku bergetar, 4
panggilan tidak terjawab dari Mama. Aku ingin mengangkatnya, “Dokter Rara,
ruang operasi sudah siap”, tidak jadi ku angkat telefon Mama, aku berlalu pergi
menuju ruang operasi. Setelah 2 jam operasi selesai, aku segera membersihkan
diri dan menuju kantor, telefon Mama.
24
panggilan tidak terjawab. Tidak seperti biasanya.
“Ma,
maaf tadi aku ada operasi dadakan, jadi…”
“Papa
nunggu kamu Ra dari tadi. Tapi sekarang sudah pergi”
“Kemana?”,
Mama diam. “kemana Ma?” tanyaku lagi.
Hanya
terdengar suara Mama menangis. Suara tangis Mama seakan sudah menjelaskan
semuanya.
Hari
itu, seakan duniaku runtuh. Papa yang selalu ada untukku. Papa yang menyeka air
mataku, Papa yang selalu menasihatiku, Papa yang selalu menyemangatiku. Kini,
sosok itu pergi, tanpa pamit. Bukan. Lebih tepatnya, aku yang tidak ada saat
Papaku meminta pamit. Aku yang tidak ada saat Papaku sakit. “Dokter macam apa
aku ini?!”.
Aku
merasakan kehilangan mendalam. Kepedihan tiada terelakan. Andai saja aku tahu,
telfon Papa kemarin adalah telfon terakhirnya, aku mau pulang. Andai saja aku
tahu, telfon Mama adalah pesan terakhir Papa, aku mau mengangkatnya walau
sebentar. Apa yang aku kejar? bukankah menjadi dokter sebenarnya juga dari
Papa. Aku bisa jadi sekarang ini karena Papa. Setelah Papa pergi, bisa apa aku?
Aku
menangis di telefon, “aku menyesal Ma, maaf. Ma…maaf”
“Jangan
tinggalin Rara Pa, maaf Pa, aku telat… telat 2 tahun”.
Kehilangan
Papa adalah mimpi terburuk untukku.
Sebulan
berlalu tapi aku masih dalam kepedihan tak berujung. Aku tuliskan kisahku
disini, mungkin hanya sepenggal kisah antara aku dengan Papa yang mengajarkanku arti kehilangan, kepedihan dan
takdir. Dengan jari-jari yang asyik menari-nari di papan ketik laptop, aku
teringat kata bijak Papa,
“Jika
kita harus merelakan sesuatu yang berharga untuk kebaikan, maka itu
takdir.”
Dari
dulu aku tidak pernah meragukan perkataan Papa yang itu, tapi sekarang hanya
satu pertanyaan terbesit di kepalaku,
“Kebaikan
seperti apa yang tersisa ketika aku harus merelakan Papa?”.
Komentar
Posting Komentar