SEKAR Edisi Mei 2024 | Melinda Karya Aisyah Rayya Amani
Melinda
Karya: Aisyah Rayya Amani
Dua tahun terakhir ini, aku selalu duduk di kursi teras rumah. Menikmati sejuknya angin pagi sembari menyesap secangkir teh hangat buatan Ibu. Aku selalu suka melihat bunga-bunga yang Ibu tanam di dekat pagar. Tak lupa juga rerumputan yang selalu basah karena embun pagi yang dingin. Bunga dan rerumputan ini yang menjadi semangat pagiku untuk terus berlama-lama duduk di teras rumah. Kegiatan ini aku lakukan sejak matahari terbit di ufuk timur hingga terbenam. Entah apa yang aku lakukan, tapi aku mencintai Melinda.
Aku sering merutuki diri saat sedang bersantai di teras rumah. Menatap iba kaki kiriku serta tangan kananku yang buntung. Apa yang bisa dilakukan manusia cacat sepertiku? Berdiri saja tak bisa, apalagi untuk berjalan. Sedih sekali nasibku ini. Aku seperti manusia tak berguna yang lebih baik mati. Namun Ibu selalu saja menguatkanku untuk terus hidup demi dirinya. Tapi siapa yang peduli, aku hanya ingin terus hidup demi Melinda.
Aku mengingat-ngingat kembali kejadian pahit yang merenggut tragis kaki kiri serta tangan kananku. Hal itu terjadi saat aku mengendarai sepeda motor menuju sebuah restoran. Aku memang ingin bertemu seseorang untuk menyatakan perasaan yang telah lama terpendam. Dengan semangat membara sepeda bututku melaju kencang. Tapi siapa yang mengira, sebuah truk besar menghantam aku serta penumpang yang ku bonceng. Kecelakaan hebat yang membuat darah segar kami mengalir deras di aspal. Semoga penumpang yang ku bonceng bukan Melinda.
“Nak, ini sarapannya. Ayo dimakan dulu,” ucap Ibu membuyarkan lamunanku. Aku hanya mengangguk kecil.
Tiba-tiba sosok yang aku tunggu-tunggu keluar dari rumah seberang. Seorang gadis cantik berambut ikal sebahu, duduk tepat di kursi teras rumahnya. Aku menyapanya dengan melemparkan senyum tipis. Tak lama kemudian, ia membalasku dengan senyuman hangat yang merekah. Senang sekali melihatnya. Ku santap sarapan buatan Ibu sambil mencuri-curi pandang gadis cantik itu. Ia terlihat sedang menatapku dari sudut matanya. Memang bukan hal yang baru, tapi setiap kali ia tersenyum aku merasa nyaman.
Sebenarnya alasanku untuk setiap hari duduk di teras rumah adalah untuk melihat gadis cantik yang berada tepat di seberang. Aku suka perangainya yang sopan dan caranya menyapaku. Ia adalah seseorang yang benar-benar menjadi semangatku untuk terus hidup dan menjalani hari. Mungkin tanpanya aku tak bisa melewati dua tahun menyedihkan ini. Aku selalu bertemu dengannya tiap hari tapi tak pernah berani untuk menyampaikan perasaan. Sadar dengan segala kekuranganku yang tak mungkin bisa bersanding dengannya.
“Nak, ayo masuk saja bantu Ibu di dalam,” ujar Ibu yang sedari tadi duduk di kursi sebelahku.
Aku menggeleng cepat. “Aku masih mau memandang Melinda, Bu. Hari ini dia cantik sekali dengan gaun putih yang dikenakan,” ucapku menolak permintaan Ibu.
Kemudian aku kembali mengalihkan pandanganku pada wajah gadis ikal itu. Menatap lekat iris sebiru samudranya dengan nyaman, sambil sesekali tersenyum padanya. Aku selalu suka saat ia keluar dari rumahnya dan duduk di teras. Mungkin sekarang aku tak lagi menganggap gadis itu penyemangat hidup, melainkan cinta yang bersemi kembali.
Melihat kelakuanku seperti bocah SMP yang baru merasakan jatuh cinta. Ibu menepuk pundakku, lalu mendorong kursi rodaku masuk ke rumah. Matanya terlihat berkaca kaca. Tak biasa Ibu membuatku meninggalkan Melinda secepat ini. Biasanya Ibu mengajakku masuk saat matahari sudah berada di ufuk barat. Ada apa dengan Ibu pagi ini? Apakah Ibu benar-benar membutuhkan bantuan di dalam? Aneh sekali.
Sampai di dalam rumah, Ibu memegang kedua pundakku erat. Matanya yang berlinang air mata menatapku lekat. “Nak, Melinda sudah berpulang dua tahun yang lalu. Tolong jangan membuat Ibu sedih.”
Komentar
Posting Komentar