Garis Takdir I Devi Ristawati
IDENTITAS PENULIS
Nama
: Devi
Ristawati
Divisi
: Humas
Jenis : Cerita Pendek
GARIS TAKDIR
Seorang gadis dengan rambut sebahu sedang menikmati angin sore di balkon
rumahnya. Rambut tipisnya yang terurai bergetar akibat angin semilir yang
bertiup sedikit kencang. Jari-jarinya menyentuh pembatas balkon. Ia menghela
nafas panjang, cairan kental berwarna merah menetes ke permukaan baju yang
sedang ia kenakan. Hidungnya mengeluarkan darah segar diikuti dengan rasa sakit
luar biasa yang menghantam kepalanya. Ia mengusap hidungnya kasar menggunakan
telapak tangannya. Tak lama, penglihatannya mulai mengabur dan semakin
menghitam.
“Aws! s-sakit, hiks..” lirihnya pelan.
“Arggghh” erang nya sembari memegangi kepalanya kuat-kuat.
Brugh!!
Gadis itu ambruk. Seketika ia tak sadarkan diri.
Namanya Elfa Sifabella. Seorang gadis yang mederita penyakit leukimia.
Tahun ini ia genap berusia 16 tahun. Kegiatan rutinnya setiap bulan
adalah kemoterapi. Rumah sakit telah menjadi rumah keduanya saat ini. Tak
jarang ia bolak-balik rumah sakit untuk sekedar check up mengenai
perkemabangan penyakit yang bersarang di tubuhnya. Ia adalah anak kedua dari
dua bersaudara. Kakanya, Feno adalah mahasiswa semester 6 yang kini sedang
merantau di kota lain. Papanya merupakan seorang pengusaha tekstil yang sering
bekerja ke luar kota. Sementara Elfa, kerap kali merasa kesepian di rumah
karena hanya tinggal berdua dengan sang Mama.
***
Sinar matahari masuk menerobos celah-celah ruang instalasi rawat inap
seorang gadis yang kini terbalut selimut di tubuhnya. Elfa membuka matanya
perlahan. Ia kaget melihat dirinya terbangun di ruangan bernuansa serba putih
ini.
“Ma....” lirih Elfa dibalik alat bantu pernapasan yang menutupi hidung
serta mulutnya.
“Adek udah sadar?” tanya sang Mama pada Elfa. Elfa yang masih dalam kondisi
setengah sadar hanya tersenyum kecil.
“Adek kemarin pingsan, jadi Mama langsung bawa ke rumah sakit. Kata dokter,
adek harus rawat inap dulu di sini, sayang.” Ucap sang Mama menjelaskan. Elfa
mengangguk dan tersenyum membuat hati orang yang melihatnya tersentuh.
“K-kakak?” ucap Elfa nyaris tak teredengar. Elfa sontak kaget kala
pintu ruangannya terbuka menampakkan Feno yang berdiri tegap membawa sebuah kue
lengkap dengan lilin di atasnya.
“Selamat ulang tahun adek.” Ucap sang kakak sembari berjalan mendekat
menuju ranjang tempat Elfa berbaring.
“K-kakak datang?” tanya Elfa.
“Iya dong, kan sekarang hari ulang tahun adek. Karena adek belum bisa tiup
lilin, kakak wakilkan aja ya. Adek jangan lupa berdoa.” Ucap sang kakak. Elfa
mengiyakan ucapan dari sang kakak. Ia menutup matanya sebentar melangitkan doa,
kemudian dilanjut Feno meniup lilin-lilin tersebut.
“Selamat ulang tahun putri kesayangan Mama. Adek yang kuat ya sayang,
jangan nyerah. Mama percaya Adek bisa sembuh kok. Mama juga selalu dukung Adek,
yang penting Adek janji bakal sembuh.” Sang Mama tersenyum lalu mengecup kening
anaknya.
“Makasih ya ma, udah merawat Elfa selama ini. Makasih juga kak” ucap
Elfa.
Tok tok...
Seorang pria berjas putih lengkap dengan stetoskop di lehernya tiba-tiba
masuk ke ruangan itu.
“Orang tua dari pasien atas nama Elfa?” tanya dokter. Mama Elfa
mengangguk cepat.
“Ikut ke ruangan saya, ada beberapa hal penting yang harus saya katakan
mengenai Elfa.” Tambahnya lagi.
“Baik.” Jawab Mama Elfa sembari mengikuti dokter keluar dari ruangan tempat
Elfa dirawat.
***
“Jadi gimana, dok?” Mama Elfa bertanya khawatir tentang keadaan putrinya.
Sang dokter menghela nafas beberapa kali kemudian menjulurkan kertas
laboratorium yang ia pegang di tangan kanannya.
“Kanker di tubuh Elfa sudah stadium dua. Penyebaran sel kanker di tubuh
Elfa semakin cepar berkembang. Menurut perkiraan saya, Elfa bisa bertahan hidup
4 sampai 5 tahun lagi. Saya sarankan Elfa segera melakukan transplantasi sumsum
tulang belakang sebelum terlambat.” Jawab dokter.
DEG.. Mama Elfa sangat terpukul dengan kenyataan ini. Ia putus asa kala
mendengar kata demi kata yang dokter tadi katakan. Sungguh ia tak menyangka
Elfa terserang penyakit yang tergolong mematikan itu.
“Tapi itu kembali kepada yang maha kuasa, yang pasti Elfa harus terus
berusaha dan berdoa” lanjut sang dokter sembari melengkungkan bibirnya
dengan hangat.
“Elfa pasti sembuh kan dok?” tanya Mama Elfa menatap sang dokter.
“Saya tidak bisa menjamin, tapi saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk
kesembuhan Elfa” ucap sang dokter.
“Tapi yang saya khawatirkan untuk mencari pendonor sumsum tulang belakang
ini cukup susah, biasanya sesama anggota keluarga memiliki kecocokan yang lebih
besar. Saya harap ibu bisa berembuk dengan anggota keluarga yang lain”
tambahnya lagi.
***
“Gimana kata dokter ma?”
“Separah itu ya, Ma?” tanya Elfa menatap sang Mama. Mama Elfa menghela
nafas berat lalu mengangguk.
“Elfa jangan sedih ya, tadi dokter bilang Elfa harus segera melakukan
transplantasi sumsusm tulang belakang.” Jawaban sang mama benar-benar membuat
Elfa down.
Kini Elfa tak mempunyai semangat lagi untuk hidup. Butiran bening tanpa
aba-aba berjatuhan membasahi pipinya. Segera ia mengusap air matanya perlahan.
Batinnya meronta, ingin menyerah pada penyakitnya. Apakah hari ini adalah hari
ulang tahunnya yang terakhir? Apakah ia tak punya harapan untuk sembuh? Apakah
hidupnya akan berakhir seperti ini? akhhh.. hidup ini tak adil.
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepala Elfa. Ketakutan akan
kematian menyeruak di dadanya. Namun, itu semua adalah takdir. Hidup dan
mati seseorang adalah takdir mutlak yang sudah dicetuskan Tuhan pada setiap
makhluk-Nya.
***
Elfa mengambil gawainya yang berada di meja dekat ranjang tempat ia tidur.
Segera ia menelfon lelaki yang dicintainya, Papa.
“Hallo....Assalamualaikum, Pa”
“Papa kapan ke rumah sakit?”
“Waalaikumsalam. Iya sayang, ini Papa lagi di jalan menuju rumah
sakit.”
“Elfa pengen Papa cepet sampai. Elfa kangen Papa.”
“Sebentar lagi ini udah mau sampai kok.”
“Pokoknya cepetttt. Elfa pengen ketemu Papa. Udah seminggu Papa belum
pulang, Elfa kangen Papa.”
“Iya sayang, iyaa. Sabar dong sayang. Anak papa ini ga sabaran banget ya
hahaha.”
“Papa sampai lupa, selamat ulang tahun ya putri Papa yang cantik. Semoga
lekas sembuh, dan bisa pulang. Tetap jadi anak kesayangan Papa yang manis ya.”
“Oh iya, Elfa pengen kado apa nih dari Papa”
“Makasih Papa. Elfa ga pengen apa-apa kok dari Papa. Dengan adanya Papa di
samping Elfa, itu udah cukup buat Elfa.”
“Hahahah bisa aja putri Papa. Ya udah sampaikan sama Mama kalo Papa udah
mau sam—“
TIIIINN TINNN!!! BRAAKKKK!!! DUARRRR!!
“Pa?”
“Papa”
“Halo, Pa?”
“Papa ga papa kan?”
“Pa?”
“Jawab Elfa, Pa!!”
“P-Papaa”
Tiba-tiba mata Elfa berkaca-kaca, dadanya sesak dengan keringat yang mulai
mengguyur sebagian tubuhnya. Ia segera memanggil Mama dan kakaknya yang
sekarang berada di luar kamar.
“Ma..Mamaaa... Maaa...”
“Kakkk”
Teriakan Elfa membuat sang Mama dan Feno panik.
“P-Pa-Papa, ma!!”
“Papa kenapa?”
Suara Elfa tercekat. Elfa menjerit-jerit dalam tangisannya. Melihat
kesedihan di mata Elfa, membuat Feno menjadi panik dan mendekati sang adik.
“Papa kenapa, dek??”
“Ta-tadi Elfa telfon Pa-Papa, hiks...”
“Te-teruss ada suara ta-tabrak-kannn”
“Bicara yang jelas, Elfa!!”
Feno mengguncang bahu Elfa. Tak lama setelah itu, Elfa kembali drop dan
tidak sadarkan diri. Sementara sang Mama terduduk lemas dengan air mata yang
terus mengalir di pipinya.
“ARGHHH!! Enggak!! Enggakk!! Ini gak mungkin!! ” Feno berusaha menyangkal
ucapan sang adik. Ia kemudian berlari kencang keluar kamar untuk memanggil
dokter.
Dokter segera memeriksa kondisi Elfa. Tangisan sang Mama semakin menjadi
ketika dokter menyatakan bahwa Elfa harus melakukan transplantasi sumsum tulang
belakang sesegera mungkin. Hancur hati wanita dua anak itu kala mendengar putri
satu-satunya harus dioperasi dalam waktu dekat. Ditambah lagi berita sang suami
yang kini mengalami kecelakaan. Sementara itu, Feno langsung mengambil ponsel
Elfa yang kebetulan telfon dengan sang Papa masih terhubung.
“Halo?”
“Papa??” Feno semakin panik.
“Hallo... Maaf saya bukan orang yang punya ponsel. Pemilik ponsel ini
mengalami kecelakaan tunggal di Bundaran Waru.” Ucap penerima telfon tersebut
yang tidak diketahui siapa orangnya.
“Saya cuma mau kasih tau kalau pemilik ponsel ini di bawa ke rumah sakit
Bhayangkara Surabaya.” Tambahnya lagi.
Sang Papa dibawa ke rumah sakit tempat Elfa dirawat. Karena kebetulan
tempat kejadian tak jauh dari rumah sakit itu.
***
Dengan sempoyongan, kini Mama Elfa duduk di ruang tunggu. Ia menunggu
sebuah operasi yang beberapa waktu lalu menggemparkan hatinya. Tak
disangka, lelaki yang ia cintai kini terbaring lemah di sebuah ruang penentu
antara hidup dan mati. Sementara Feno berada di depan ruangan tempat Elfa
dirawat, yang kebetulan berada tepat di sebrang koridor ruang operasi.
Takdir berkata lain, wajah dokter yang keluar sudah menjadi jawaban. Kabar
duka dari dokter membuat wanita paruh baya itu syok dan benar-benar tidak
menyangka. Jeritan tangis sang Mama membuat Feno segera berlari menuju ruang
operasi meninggalkan Elfa yang masih tidak sadarkan diri. Wanita paruh baya itu
menangis histeris kehilangan separuh jiwanya secara tak terduga. Feno berusaha
untuk menahan tangisnya, padahal hatinya amat terluka. Air mata yang sangat
berat dan susah ditahan itu membuat suasana menjadi mencengkam.
***
Elfa menatap kosong ke
langit-langit ruangannya. Wajahnya yang tampak begitu pucat dengan bibir yang
begitu kering membbuatnya terlihat seperti mayat. Feno yang sedang duduk di
kursi sampingnya terkejut melihat Elfa membuka kedua matanya. Ia langsung
bergegas meninggalkan ruangan untuk memanggil dokter. Tak lama, Feno kembali
dengan seorang dokter yang langsung memeriksa keadaan Elfa.
“Elfa bisa dengar saya?” tanya dokter
Elfa tak menjawab pertanyaan dokter dan hanya menatap kosong langit-langit
kamar.
“Elfa, jika dengar saya tolong anggukkan kepala.” Ucap dokter yang kini
dibalas dengan anggukan pelan.
“Syukurlah Elfa sudah sadar setelah seminggu koma.” Tambah dokter itu.
“Alhamdulillah, kamu sudah bangun juga sayang dari koma. Mama kira, Mama
bakal kehilangan adek juga.” Sang Mama berucap hingga meneteskan air mata.
“Juga?” tanya Elfa bingung.
“Papa dimana? gimana keadaan Papa?” tanya Elfa dengan suara lemah.
Hening. Tidak ada yang berani bicara. Mata Elfa beralih menatap wajah Feno
yang sudah pucat pasi.
Mama Elfa langsung memeluk Elfa erat tanpa memberikan jawaban atas
pertanyaanya.
“Papa udah ga ada, dek”. Ucap Feno
“Kemana? Papa kemana? Papa udah janji mau ketemu Elfa.”
“Papa.... Meninggal.” Feno menjawab ragu-ragu karena takut Elfa drop lagi.
“Engga, ga mungkin. Kakak bercanda kan? bercandanya ga lucu, ih. Mama, ini
ga bener kan, Ma?”
“Mama....”
***
Hembusan angin menerpa wajah pucat Elfa. Kini ia sedang berada di luar
kamar tempat ia rawat inap. Tentunya dengan selang dan infus yang selalu
mengikuti kemanapun Elfa pergi. Ia menghela nafas panjang seraya menyandarkan
bahunya pada sandaran kursi roda. Ekor matanya melirik ke arah televisi yang
terpasang di ujung koridor tempat Elfa duduk.
Elfa tidak menyangka di hari ulang tahunnya ia harus kehilangan sosok Papa
di hidupnya. Baru saja ia bangun dari koma malah dikejutkan dengan kematian
Papanya. Sungguh kado ulang tahun yang benar-benar tak terduga. Elfa terus saja
menyalahkan diri sendiri. Semua ini salahnya. Kepergian Papa adalah salahnya.
Andai saja Elfa tak menelpon, andai saja tak menyuruh Papa cepat ke rumah
sakit, andai saja Elfa tak sakit, andai.... andai saja Elfa tak butuh donor
sumsum tulang belakang.
“Eh tunggu? Siapa orang yang menjadi pendonor sumsum tulang belakang
untukku?” Elfa bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
“Kak Feno.. atau Papa?”
“Papa?”
Komentar
Posting Komentar