Perspektif I Ican Frida Ambami

 

IDENTITAS PENULIS

Nama : Ican Frida Ambami (Violinjuly)

Divisi : Kominfo

Jenis  : Cerita Pendek

 

 

PERSPEKTIF

- Februari, 2019

Banyak orang bilang kalau hasil itu tidak akan mengkhianati usaha, tapi…

Terhitung sudah dua bulan aku lontang-lantung memikirkan akan kuliah di mana nantinya. Tidak seperti siswa lain yang sibuk mencari Perguruan Tinggi Negeri favorit, aku sama sekali tidak tertarik untuk berkuliah. Lebih tepatnya, aku tidak terlalu ingin berkuliah di dalam negeri. Tidak, tentu saja mimpiku yang setinggi langit itu bukanlah hanya sebatas angan belaka. Jika boleh sombong, aku adalah siswi yang pintar dan juga cerdas. Selama tiga tahun berturut-turut aku mendapatkan gelar sebagai juara umum. Tidak hanya itu, aku aktif dalam mengikuti berbagai olimpiade, salah satunya Fisika.

Hai! Namaku Nara. Aku memang sudah mengenal dan mencintai Fisika sejak duduk di bangku SMP. Aku murni mencintai Fisika dengan hatiku. Pun aku tahu bahwa tidak sedikit orang yang membencinya. Bagiku, mendengar Archimedes bersorak “EUREKA!” saat setelah berendam dari bak mandi, itu sangat luar biasa. Atau melihat Blaise Pascal melubangi plastik yang berisi air dan kemudian lahirlah sebuah teori yang diberi nama ‘Hukum Pascal’. Para ilmuwan itu memang keren, kelak aku ingin menjadi salah satu dari mereka.

“Nara, bagaimana? Apakah kamu sudah memutuskan akan memilih apa untuk pilihan pertama di SNMPTN nanti?” tanya Bu Ida, seorang guru BK kesayangan kami.

“Belum Bu, saya masih harus mendiskusikannya terlebih dahulu dengan Bapak,” jawabku dengan penuh alasan.

Ya, sebetulnya bapak sama sekali tidak pernah mempermasalahkan tentang studiku, semua kendali ada di tanganku. Bapak hanya berpesan untuk sungguh-sungguh dalam belajar dan selalu menyelesaikan apa yang sudah aku mulai. Bapak memang begitu. Sejak kepergian ibu, bapak menjadi sosok yang sangat inspiratif dan selalu memotivasi. Kata-katanya bak hujan gerimis yang membasahi tanah gersang. Ya, selalu menyejukkan dan menghidupkan semangatku.

Aku ingat, saat itu Hari Kamis. Bapak pulang ke rumah dengan semangat sambil membawa selongsong koran. “Naraaa, coba lihat ini!” ucap bapak dengan penuh semangat. Headline berita di koran itu tertulis ‘Indonesia Emas, Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) Meraih Medali Emas dan Perak pada International Physics Olimpiad (IPhO) 2016’. “TOFI? IPhO? Fisika? Maksudnya apa?” Aku yang saat itu baru saja duduk di bangku SMP, masih terdengar sangat asing tentang istilah pada berita tersebut. Sebagai rasa sayangku kepada bapak, aku hanya merespons dengan berpura-pura excited dan sama-sama memasang wajah sumringah.

Malam harinya, ntah kenapa aku tiba-tiba merasa kesulitan untuk tidur dan memutuskan untuk membaca-baca sejenak, “yah, siapa tau habis baca-baca bisa ngantuk” batinku saat itu. Tanpa sengaja mataku tertuju pada koran yang tergeletak di atas karpet, ternyata koran yang dibawa oleh bapak tadi. Kata demi kata, kalimat demi kalimat, hingga satu berita tentang TOFI dan IPhO’ itu aku lahap dalam sekali duduk. “Hmmm menarik, ini menarik sekali. Aku akan mencari tahu lebih banyak lagi tentang ini besok di sekolah,” gumamku setelah membaca berita tersebut.

Keesokan harinya, aku membawa koran tersebut ke perpustakaan sekolah. Kemudian tanpa sengaja, Pak Hanan, seorang guru IPA di sekolahku, menemukanku tengah mencari-cari sesuatu di rak kumpulam majalah sambil membawa koran.

“Apa yang sedang kamu cari, Nak?” tanya Pak Hanan.

“Saya sedang mencari apapun tentang ini Pak, ummm TOFI… IPhO… dan… Profesor Yohanes Surya.” jawabku dengan gugup.

“Wah, kebetulan sekali bapak tahu banyak tentang itu.” Pak Hanan menimpali.

Singkat cerita, aku dan Pak Hanan berdiskusi banyak mengenai Fisika, TOFI, IPhO, dan Profesor Yohanes Surya. Di akhir percakapan kami, Pak Hanan memimjamkanku dua buah novel serial. Novel ini terdiri atas bagian satu dan bagian dua. Pada halaman sampul novel tersebut tertulis ‘TOFI: Perburuan Bintang Sirius oleh Prof. Yohanes Surya’. “Sebentar, Prof. Yohanes Surya? Beliau menulis novel jugaaa?” gumamku dengan penuh rasa kagum.

Setelah berdiskusi banyak bersama Pak Hanan, aku langsung semangat untuk ‘menyantap’ novel tersebut sesaat sesampainya di kelas. Bahkan, saat dalam perjalanan menuju pulang ke rumah pun, sepasang bola mataku tidak bisa lepas dari tiap halamannya. Hanya membutuhkan waktu empat hari saja aku dapat menyelesaikan kedua novel tersebut. “Keren, sepertinya aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta kepada sains” pikirku sesaat setelah selesai membaca kalimat terakhir pada halaman novel tersebut.

Semakin hari aku semakin menggila. Setiap hari aku pergi ke perpustakaan untuk membaca buku-buku karya Prof. Yohanes Surya. Kali ini bukan novel yang kubaca, melainkan buku pelajaran Matematika dan Fisika karya beliau. Baru pertama kali aku menemukan buku Matematika yang semenarik ini. Prof. Yohanes sangat dapat mengubah Matematika dan Fisika yang menyeramkan itu menjadi suatu hal yang asik dan menyenangkan.

Kala itu pun tiba. Sabtu, 14 Februari 2015 aku mengikuti olimpiade Fisika pertamaku. Setelah berjuang keras bergelut dengan soal-soal, pada akhirnya aku dapat membawa medali pertamaku. Memang bukan emas, tapi ini sangat cukup untuk dijadikan sebagai garis start sekaligus pemicu semangatku untuk mengikuti kompetisi berikutnya.

Tahun demi tahun berganti. Sudah berpuluh-puluh kompetisi kulalui, dan ini akan menjadi yang terakhir bagiku untuk mengkuti olimpiade di tingkat SMA. Olimpiade Sains Nasional 2018. Hal tersebut merupakan momen yang terpenting dan yang paling mendebarkan bagiku. Pasalnya, ini adalah kali pertama dan terakhir aku lolos ke tingkat Nasional. Jika aku berhasil mendapatkan medali, setidaknya aku bisa menggapai mimpi kecilku, menjadi salah satu dari Tim Olimpiade Fisika Indonesia dan mengikuti Olimpiade Fisika Internasional (IPhO). Ah, rasanya mimpiku hanya berjarak tiga sentimeter di depan mata.

Malam hari sebelum olimpiade dilaksanakan, aku yang sedang duduk-duduk di tangga asrama —kami yang lolos ke tingkat nasional harus menjalani karantina pelatihan khusus selama dua bulan di asrama— mendapat kabar bahwa ayahku tertabrak bajaj dan sedang kritis di rumah sakit. Tanpa berpikir panjang, aku bergegas meminta izin untuk pulang dan pergi ke rumah sakit menemui bapak. “Dheg!” ternyata bapak sedang mendapat perawatan di ruang ICU dan aku belum boleh bertemu bapak. Awalnya aku berniat untuk nekat mengikuti olimpiade esok hari dengan syarat minimal bapak sudah melewati masa kritis. Tapi ternyata, hingga pukul 7 pagi keesokan harinya pun belum ada kabar apa-apa dari dokter. Singkat cerita aku batal mengikuti olimpiade. Tapi di sisi lain, aku senang bapak masih hidup dan sehat sampai saat ini.

Bohong jika aku tidak merasa kesal. Puluhan kompetisi yang kuikuti, ribuan soal yang kukerjakan, ratusan malam yang kulewati untuk belajar, hingga ribuan liter keringat dan air mata yang aku tumpahkan, rasanya semua itu sia-sia. Aku masih sering berandai-andai. Pun bapak, tak jarang ia meminta maaf dan selalu merasa bersalah. Padahal aku tidak menyalahkan bapak sama sekali, aku terkadang hanya sedikit kecewa dengan alam. Mengapa waktunya selalu tidak tepat?

Bapak pernah berkata, “Nak, terkadang alam suka mendadak dan tidak terduga. Tapi kamu tidak boleh berpikir negatif kepada alam. Alam selalu penuh dengan rahasia, alam ingin kita bisa memaknai dari setiap kejadian yang ada”.  Yah begitulah bapak, selalu menjadi kutub positif bagi aku yang penuh dengan kenegatifan ini.

Hasil memang tidak akan mengkhianati usaha, tapi syarat dan ketentuan berlaku di sini. Kita tidak boleh lupa akan campur tangan Tuhan dan tentu saja alam yang super rahasia itu. Bagiku, sad ending atau happy ending itu tidak ada. Karena semua itu tergantung dari sudut mana kita memaknainya. Mungkin jika menurut Einstein, happy ending atau sad ending itu sifatnya relatif, setiap tokoh punya perspektifnya sendiri. Pun dengan kisahku, mungkin sebagian orang berpikir ini adalah akhir yang menyedihkan. Tapi bagiku, menemani dan merawat bapak dalam melewati masa kritisnya saat itu adalah hal terbaik. Karena aku hanya punya bapak dan bapak hanya punya aku. Kehadiranku saat itu tentunya sangat berpengaruh besar terhadap motivasi bapak untuk dapat sembuh. Alam bawah sadar bapak bekerja saat itu. Ikatan batin seorang bapak dan anak.

Yah, walaupun saat ini aku masih lontang-lantung dalam memutuskan keberlanjutan studiku, tapi setidaknya aku masih menyimpan satu rak penuh piagam penghargaan olimpiade Fisika juga mengantongi restu dan doa dari bapak untuk melanjutkan studi di mana pun itu. Jadi, menurutmu kemana aku harus mendaftar? UI? ITB? Ataukah Unej?

 

 

Jember, 10 November  2022

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEKAR Edisi Bulan Mei-Juni 2023 | Jalan yang Terang untuk yang Bertahan oleh Bella Najwa Muzdha

PROFIL

LITERAFILM: HOME SWEET LOAN (2024)