Skenario I Prakas Putra Setiawan
IDENTITAS PENULIS
Nama
: Prakas Putra Setiawan
Divisi : Kreatif
Jenis : Cerita Pendek
SKENARIO
Cepat
kemari anak jadah, suara teriakan yang berasal dari dapur menggertak diriku. Kukuatkan
langkahku menuju ruang dapur walau sebenarnya diri ini meyakinkan untuk
mengabaikannya. Perlahan ku menghampirinya, belum lama aku melangkah pecahan
suara piring terdengar diikuti panggilan yang terus saja meminta anak jadah ini
segera datang. Sampailah aku di dapur, disana kulihat kondisi dapur yang sudah
tak karuan seperti baru saja terkena gerpakan gempa. Lagi-lagi pria tua penjudi
itu lagi yang membuat onar, layaknya seorang bocah yang merengek meminta dibuatkan
makanan pada orang tuanya. Kenyataannya sebaliknya ia adalah ayahku. Dengan
berat hati kusebut dan kuakuinya ayah,
rasa kasih sayang ayah yang tak pernah aku dapatkan darinya membuatku ragu
benarkah dia ayahku.
Belum
selesai aku melayani pria tua penjudi itu, datang wanita berpakaian serba
pendek lengkap taburan make up hingga menutupi wajah aslinya memintaku untuk
mencucikan baju miliknya, tanpa berkata aku hanya bisa menghela nafas sambil menunggu
telur goreng untuk ayah matang. Tak lama terdengar suara dari sutradara yang
mengatakan “CUT”. Semua pemain termasuk aku kembali menuju tempat rias
masing-masing untuk melanjutkan adegan selanjutanya. Namun, ketika adegan baru
segera dimulai tatapanku tak bisa fokus, rasanya semua yang aku lihat sedang
berputar tak karuan seketika aku terjatuh dan tak sadarkan diri. Ketika
terbangun terlihat dua orang perawat, dokter juga dua asisten kru syutingku. Tak
banyak yang kuingat apa yang mereka katakan, hanya perkataan dokter yang mengatakan
padaku untuk lebih banyak istirahat dan jangan banyak pikiran, mendengar
perkataan itu aku hanya bisa terdiam karena sudah keberapa ribu kali aku selalu
mendapat saran seperti itu.
Perlahan
dokter dan dua perawat meninggalkan ruangan, tersisa aku dan dua
asisten kru syutingku. Mereka mengatakan syuting hari ini di undur terlebih
dahulu, sutradara memintaku untuk memulihkan kembali kondisiku. Hari itupun aku
dipulangkan, sesampainya dirumah bukannya membuat keadaan lebih baik justru
sebaliknya. Belum juga masuk pintu rumah, sudah ada renteiner ayah yang baru
saja keluar dari dalam rumah. Masuklah aku menuju rumah, kulihat pintu lemari
yang sudah terbuka tak selaras, buku-buku yang sudah terbengkalai dan terbuang
dari posisi sebelumnya, juga bentukan kasur yang berubah macam baru dicakar
macan. Melihatnya sudah tak ada keterkejutan hanya saja kucoba menerka barang
apa lagi yang kali ini menjadi tumbal. Ku tengok ke arah lawan, benar saja kali
ini laptopku jadi sasaran.
Seketika
tubuhku mulai tak kuat menyanggah, mataku mulai berapi-api, juga kepeningan
dikepala memaksaku untuk istirahat sejenak. Terduduk merenung aku memikirkan,
akankah kehidupan ini berakhir layaknya happy ending disebuah film. Bahkan aku
tak bisa membedakan apakah aku sedang melakonkan sebuah adegan atau melakonkan
sebuah kehidupan dimana tak ada yang tahu persis akhir dari skrip adegan. Terdiam
aku membayangkan,
seandainya aku tak menjadi bagian dalam skenario keluarga ini, mungkin aku tak
perlu bertanya-tanya tentang bagaimana rasanya kebahagian. Tapi semua percuma,
tak ada gunanya menyesali keadaan walau memang benar tak ada yang dibanggakan
dalam kehidupan.
Bergegas
aku membersihkan rumah sebelum mereka datang. Tak terasa kulihat langit mulai
menggelap, mentari yang perlahan berubah menjadi senja mulai menghilang.
Kusandarkan diriku ditelapak gepalan dinding teras rumah sambil terduduk lelah
kuluruskan lutut dari kursi depan rumah. Karena terlalu lelahnya aku tertidur
di teras rumah, seketika terdengar suara dobrakan pintu mengejutkanku.
“Hey
hey hey, bangun!!!
tidur terus kerjaanmu.” Wanita berbau alkohol itu melototiku. “Kau pasti bolos
syutingkan?”
Terdiam
aku tak menjawab pertanyaannya percuma saja wanita itu tak akan percaya walau
kukatakan apa yang sebenarnya. Malam itu sama seperti malam-malam sebelumnya,
wanita tua berbau alkohol itu membawa dua laki-laki berondong yang tak kukenal
mungkin saja mereka langganan barunya.
“Cepat
bersihkan kamar mama,” ujar wanita itu padaku.
Dibalik
diamku Jauh didalam hati terdapat rasa malu dan benci yang sedang bersemayam
dalam diriku. Mengapa mamaku berbeda, disaat para ibu diluar sana sedang menghabiskan
waktunya berkasih sayang dengan buah hatinya berbeda dengan mamaku yang lebih
nyaman menjalin kasih dengan lelaki orang.
Waktu
semakin larut kulihati setiap sudut rumah tetangga yang mulai sunyi juga
kehilangan cahaya lampunya, hanya rumahku yang masih tak ada bedanya kapan waktu
siang juga kapan waktu malam. Berlalulalang para orang tak dikenal dari yang
modelan berondong, tante, om, bahkan bencong semuanya pada nongkrong. Seketika ku
masuk ke dalam kamar untuk menenangkan diri dari segala bejatnya kehidupan.
Bersandar diatas kasur, menatap album foto kecilku yang sangat memprihatinkan.
Waktu semakin malam, mata terasa sangat berat untuk dibuka namun pikiran sulit
untuk diistirahatkan. Raga yang mulai lelah menghadapi realita yang ada, terbentur terbalik
dengan pikiran yang selalu saja melayang-layang memikirkan tentang kelurga, keluarga
dan keluarga. Rasanya seperti tak tahu apa yang harus aku lakukan, tak tahu
tujuan apa yang aku kejar, bahkan aku juga tak tahu apa yang aku harapkan semua
terlanjur basi untuk diimpikan. Semua pertanyaan itu selalu menggantayangiku
hingga membuat pikiranku tak senada lagi dengan perintahku.
Kulihat
jam dinding menunjukan pukul 12.15 malam, mungkin sudah waktunya orang normal
untuk istirahat tapi berbeda dengan yang kurasakan, aku harus rela mengurangi
jatah istirahatku, bagaimana tidak setiap kali aku kupejamkan mata selalu
terdengar jeritan para wanita-wanita jalang yang sedang asyik dengan sodoran
laki orang, suara bencong meminta keadilan kekuasaan, juga pecahan botol bir
menambah bagaimana pesta maksiat itu dilakukan. Waktu semakin larut kudengar
suara mesin motor ayah datang, aku terdiam dan menunggu umpatan apalagi yang
malam ini akan ayah ucapkan.
Drrrrrrkkk...,k suara kaki menendang pintu ruang tamu.
“BABI...KELUARRRR,”
teriak Ayah dengan keras.
Semua
orang pun keluar termasuk mama, tiba-tiba mama datang menghampiri ayah dan
seketika tamparan keras mama berikan pada ayah.
“Jalang,
apa maksutmu?” ketus Ayah.
Mama
marah, “Apa yang sudah kamu lakukan?” sahutnya, ”pelangganku hilang setan”
Ayah
berkata, “Dasar tak tahu diri.”
Suasana
semakin tak karuan, semua orang bergegas meninggalkan rumah kami tersisa aku
mama dan ayah, dimana aku menyaksikan lagi pertengkaran antara mereka.
Kusaksikan setiap tamparan ayah yang membuat bekas merah dikening mama, juga
cakaran mama yang selalu membuat wajah ayah terluka. Mereka bertengkar tak tahu
waktu, sudah biasa tetangga bangun malam-malam hanya untuk menyaksikan mereka
berdua bertengkar. Sudah lelah kuingatkan mereka, bukannya berhenti mungkin aku
juga dapat imbas ego mereka. Teringat ketika malam takbir menjelang hari raya, ayah dan mama bertengkar
hebat hingga membuat pak RT datang. Para tetangga yang datang membantu untuk
memisahkan, namun tetap saja tak mereka hiraukan, hingga tiba ketika kucoba
untuk memisahkan
mereka bukannya mendengar, mereka malah mendorongku hingga membuatku terjatuh
dan terbentur ke siku lemari yang membuat kepalaku berdarah. Herannya, bukannya berhenti mereka
tetap melanjutkan pertengkaran mereka dan tak menghiraukan kondisiku. Semenjak
kejadian itu aku tidak pernah memisahkan mereka lagi, karena itu akan percuma.
Kudiamkan
mereka hingga mereka merasa lelah dengan pertengkaran mereka sendiri.
Kupaksakan mataku terpejam walau sebentar lagi mentari datang, kubiarkan
telinga ini mendengarkan segala umpatan walau sebenarnya jauh didalam hati
merasa teriris. Kubiarkan memori-memori ini berkelana dalam pikiran dan
berharap agar mimpi indah segera datang. Dunia di mana aku bisa merasakan
elusan kasih sayang seorang mama, pelukan tulus seorang ayah, dimana aku bisa
menceritakan berbagai pahitnya kehidupan pada mereka dan mereka yang selalu
berkata, “Tenang anak mama dan papa pasti bisa kok,” walau hanya sebuah dimensi
khayalan, sejujurnya itu membuat diriku sedikit tenang walau harus bisa menerima
kenyataan bahwa hari esok akan ada hari yang buruk lagi.
Keesokan
paginya, kuterbangun dan melihat keadaan rumah berbeda dari biasanya. Seperti
ada yang kurang namun tak bisa aku tangkap, ternyata segala barang dan
perabotan rumah telah tak ada,
hanya kulihat mama dan ayah yang sudah berdandan rapi dengan membawa tas
masing-masing. Terheran aku memikirkan apa yang sebenarnya mereka lakukan dan
apa yang sebenarnya terjadi.
“Bagaimana
kamu sanggup tidak?” Mama menatap serius Ayah. “Aku pribadi gak bisa, tahu
sendiri, kan?”
“Apa
kau benar-benar yakin tidak sanggup?” tanya Ayah.
“Kamu
pikir aku pura-pura,” jawab Mama.
“Sudah
kubilang kita semua tidak sanggup, lebih baik dia bersama neneknya?” Ucap Ayah.
Jantungku
berdetuk kencang, badanku terasa lemas, pikirku melayang entah kemana, hidupku
mulai terambang tak tahu bagaimana kehidupan akan kulanjutkan. Hidupku bagai
tak ada asa, jiwaku mulai kehilangan arah, hanya satu jalan yang bisa aku
pikirkan mengakhiri skrip adegan dalam kehidupan ini walau dengan jalur yang
salah.
TAMAT
Prakas Putra Setiawan,
Komentar
Posting Komentar